Redelong – Di kaki pegunungan yang sejuk dan berhawa lembut, berdirilah Desa Bandar Lampahan di Kabupaten Bener Meriah — sebuah kawasan yang tak hanya memesona lewat bentang alamnya yang hijau dan tenang, tetapi juga memancarkan aura spiritual yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Dari kejauhan, kabut tipis sering turun menyelimuti ladang kopi dan sawah yang menghampar di lereng bukit. Suara kokok ayam bersahutan dengan lantunan azan dari masjid tua di tengah desa, menciptakan harmoni alami yang menjadi ciri khas kehidupan masyarakat Lampahan.
Namun, keindahan alam itu hanyalah permukaan dari sesuatu yang lebih dalam. Lampahan menyimpan jejak spiritual yang mengakar kuat dalam kehidupan warganya sejak ratusan tahun lalu — warisan leluhur yang berpadu dengan nilai-nilai Islam, membentuk keseimbangan antara dunia lahir dan batin.
Misdar, seorang warga setempat yang telah puluhan tahun tinggal di Lampahan, menuturkan bahwa masyarakat di sana hidup dalam keselarasan yang indah antara adat dan agama.
“Kami di Lampahan hidup dengan keseimbangan antara adat dan agama. Setiap kegiatan, baik di ladang maupun dalam kehidupan sosial, selalu diawali dengan doa,” ujar Misdar, Minggu (26/8/2025), dengan senyum tenang yang mencerminkan kedamaian batin.

Dalam keseharian, masyarakat Lampahan terbiasa menanamkan rasa syukur dalam setiap langkah. Sebelum menanam kopi, mereka memanjatkan doa bersama. Sebelum memulai panen, mereka menggelar kenduri sebagai wujud terima kasih kepada Sang Pencipta.
Salah satu tradisi spiritual paling khas di Lampahan adalah kenduri reje bukit — ritual doa bersama yang digelar di kaki bukit sebagai ungkapan syukur atas hasil bumi sekaligus permohonan perlindungan dari bencana.
Dalam prosesi itu, para tetua adat memimpin doa, sementara masyarakat membawa berbagai hasil bumi: padi, kopi, sayur-mayur, dan buah-buahan. Suara doa dan zikir berpadu dengan gemericik air pegunungan, menghadirkan suasana hening yang sarat makna.
“Kenduri reje bukit bukan hanya ritual adat, tapi juga pengingat agar manusia selalu rendah hati di hadapan alam dan Tuhan,” tutur Misdar.
Tradisi ini menjadi perekat sosial, menguatkan rasa persaudaraan antarwarga, sekaligus simbol penghormatan terhadap alam yang selama ini menjadi sumber kehidupan.
Jejak spiritual Lampahan juga tampak dari masjid-masjid tuanya yang masih berdiri kokoh di tengah pemukiman. Dindingnya mungkin sederhana, terbuat dari kayu tua dan batu alam, tetapi di dalamnya tersimpan sejarah panjang perjalanan dakwah di tanah Gayo.
Masjid bukan sekadar tempat ibadah bagi masyarakat Lampahan. Di sinilah mereka berkumpul, bermusyawarah, mengaji, dan mendidik anak-anak tentang arti kebaikan. Dari tempat inilah nilai-nilai kebersamaan dan religiusitas terus diturunkan lintas generasi.
“Masjid bagi kami bukan hanya tempat shalat, tapi juga pusat kehidupan,” kata Misdar sambil menunjuk ke arah bangunan tua yang masih ramai dikunjungi jamaah setiap waktu.
Bagi wisatawan, Desa Lampahan menawarkan pengalaman yang berbeda dari destinasi wisata lain di dataran tinggi Gayo. Di sini, pengunjung tak hanya disuguhi keindahan alam, tetapi juga diajak menyelami kehidupan masyarakat yang hidup dalam ketenangan dan kesadaran spiritual.
Menikmati pagi di Lampahan bukan sekadar menikmati udara segar, tetapi juga menyaksikan bagaimana masyarakatnya memulai hari dengan doa dan syukur. Suasana damai itu menjadikan desa ini layak disebut “desa wisata spiritual” — tempat di mana alam, manusia, dan Sang Pencipta berpadu dalam keselarasan yang indah.
“Datanglah ke Lampahan bukan hanya untuk melihat, tapi untuk merasakan,” pesan Misdar menutup perbincangan. “Di sini, setiap embusan angin dan setiap langkah di tanah ini membawa kita pada kesadaran bahwa hidup adalah perjalanan spiritual yang harus dijaga keseimbangannya.”
Seiring berkembangnya pariwisata di Bener Meriah, masyarakat Lampahan berusaha menjaga nilai-nilai luhur yang menjadi jiwa desa mereka. Tradisi, alam, dan spiritualitas menjadi kekuatan utama yang tidak bisa dipisahkan.
Karena bagi masyarakat Lampahan, keindahan sejati bukan hanya apa yang tampak oleh mata — melainkan apa yang bisa dirasakan oleh hati. [Adv]
Editor: Amir SagitaReporter: Syaiful Anshori


















