Banda Aceh – Di tengah derasnya arus informasi digital dan menjamurnya media baru pasca pemilu, muncul satu pertanyaan besar bagaimana media arus utama bisa tetap dipercaya dan relevan? Pertanyaan ini menjadi inti dari diskusi lintas media yang digelar TheAceh Post yang menghadirkan suara-suara kritis dari para jurnalis dan pegiat media tentang nasib media mainstream di era media sosial, Banda Aceh, Kamis (24/07/2025).
Salah satu fokus utama adalah pentingnya mempertahankan standar jurnalistik di tengah derasnya arus digitalisasi dan tren sosial media. Muncul pertanyaan kritis haruskah media arus utama mulai mengadopsi gaya emosional dan personal layaknya konten kreator agar bisa menarik perhatian audiens media sosial? Sebagian peserta berpendapat bahwa media perlu menyesuaikan gaya presentasi agar lebih menarik di platform digital, namun tidak boleh meninggalkan prinsip dasar jurnalisme.
“Banyak teman-teman konten kreator yang meski belum viral, sudah pandai mengikuti tren. Tapi konten mereka kadang menyalahi kode jurnalistik tapi ditambahi kata-kata puitis atau menarik komentar netizen. Itu jadi tantangan buat media mainstream sekarang,” ujarnya Irhamni salah satu narasumber di acara tersebut.
Ia juga menekankan bahwa kecepatan memang menjadi daya tarik media sosial. Namun, pada akhirnya masyarakat tetap akan mencari validasi dan pendalaman dari media yang kredibel.
“Orang tetap akan searching lagi, baca ulang dari sumber yang bisa dipercaya. Tapi sayangnya itu terjadi di tahap akhir. Harusnya dari awal masyarakat langsung membaca dari sumber resmi,” tambahnya.
Diskusi juga mengulas aspek bisnis media, termasuk soal harga iklan yang kini melonjak signifikan. Sebagai contoh, biaya iklan di Instagram bisa mencapai satu juta rupiah untuk satu konten promosi, sementara pada 2018 harga layanan publikasi pemerintah masih jauh lebih rendah. Ini menunjukkan dinamika ekonomi media yang turut berubah seiring perubahan pola konsumsi informasi.
Dalam konteks branding, media sosial kini menjadi senjata penting untuk membangun citra, baik bagi individu maupun institusi. Karena itu, wartawan masa kini dituntut tak hanya mahir menulis berita, tetapi juga aktif di media sosial agar mampu menjangkau audiens yang lebih luas dan mengikuti tren yang sedang berkembang.
Diskusi ditutup dengan kesimpulan bahwa media harus tetap memegang teguh etika dan profesionalisme, namun juga harus cerdas membaca perubahan zaman. Kolaborasi antar media, peningkatan kapasitas wartawan, dan adaptasi terhadap pola komunikasi digital menjadi langkah penting agar media tetap relevan, kredibel, dan mampu bersaing di era transformasi digital yang tak terbendung.
Editor: Amiruddin. MKReporter: Aininadhirah