Banda Aceh – Pemerintah pusat melalui Kementerian Pertahanan berencana menambah empat Batalyon Teritorial TNI Angkatan Darat di Provinsi Aceh. Lokasi batalyon baru ini direncanakan di Kabupaten Pidie, Aceh Tengah, Nagan Raya, dan Aceh Singkil. Rencana ini menuai respons beragam dari masyarakat dan tokoh politik Aceh, yang menyuarakan kekhawatiran terhadap masa depan perdamaian dan otonomi khusus yang selama ini dijaga pasca konflik berkepanjangan. Kamis,(03/07/2025).
Potensi Manfaat dari Segi Keamanan dan Ekonomi
Pihak pendukung kebijakan ini menilai penambahan batalyon sebagai upaya memperkuat pertahanan nasional, khususnya di wilayah paling barat Indonesia. Selain itu, proses pembangunan markas batalyon yang melibatkan kontraktor lokal seperti PT Performa Trans Utama dan PT Kartika Bhaita, disebut-sebut akan menciptakan lapangan pekerjaan baru di tingkat daerah.
“Dengan adanya kegiatan pembangunan dan penempatan pasukan, akan tercipta efek ekonomi yang baik bagi masyarakat sekitar,” tulis titik.co dalam laporan mereka tanggal 1 Juli 2025.
Penolakan Keras dari Wali Nanggroe dan DPRA
Namun demikian, gelombang penolakan datang dari sejumlah tokoh Aceh, terutama mereka yang selama ini menjadi penjaga semangat damai pasca penandatanganan MoU Helsinki tahun 2005.
Wali Nanggroe Aceh, Tgk. Malik Mahmud Al-Haytar, menyatakan bahwa pembangunan empat batalyon baru ini bertentangan dengan butir-butir MoU yang telah menjadi dasar perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia.
“Langkah ini bisa dianggap sebagai pengingkaran terhadap perjanjian damai Helsinki yang telah membawa ketenangan bagi rakyat Aceh selama hampir dua dekade,” ujar Malik Mahmud seperti dikutip dari Naratif.co.id (2 Juli 2025).
Senada dengan itu, Ketua Komisi I DPRA, Tgk. Muharuddin, juga menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap potensi munculnya kembali trauma masyarakat terhadap keberadaan militer dalam jumlah besar.
“Masyarakat Aceh saat ini hidup tenang dan damai… Jangan sampai penambahan batalyon ini membuat masyarakat kembali merasa takut dan trauma atas kejadian masa lalu,” katanya dalam pernyataan resmi yang dilansir titik.co.
Muharuddin juga mengingatkan bahwa dalam MoU Helsinki telah ditegaskan bahwa jumlah pasukan organik TNI di Aceh tidak boleh melebihi 14.700 personel dan tidak boleh ada penambahan batalyon secara sepihak tanpa persetujuan bersama.
Suara Rakyat: “Kami Butuh Pendidikan, Bukan Peluru”
Tak hanya dari kalangan politikus, penolakan juga datang dari kelompok masyarakat sipil. Dalam aksi Kamisan yang digelar di Banda Aceh, sejumlah aktivis menyuarakan aspirasi agar pemerintah lebih fokus pada pembangunan sektor pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat daripada mengalokasikan anggaran untuk militer.
“Kami tidak butuh peluru dan seragam loreng… kami butuh ruang pendidikan yang layak, fasilitas kesehatan yang manusiawi, dan lapangan pekerjaan,” ujar perwakilan Aksi Kamisan Aceh, dikutip dari jbnn.net (02/07/2025).
Editor: Amiruddin. MKReporter: Aininadhirah