Penulis : Kas Pani
Bila lahir disekitar 1960-an atau awal 1970-an, aku pastikan kawan masih ingat di lokasi Galon Oyon sekarang ada pasar yang disebut Onan Mingguan Rimo.
Setiap Minggu dulu, Onan ini sangat ramai dan jauh dari keteraturan. Mobil rombengan, sepeda motor, dan becak parkir seenaknya. Belum lagi sekitar Onan yang tanahnya becek dan lapak jualan yang sembraut.
Namun, walau nirketeraturan, transaksi dagang berjalan mulus, dan jarang terjadi copet.
Di depan Onan, ada Losmen berdinding papan, aku lupa namanya. Penginapan tempat transit orang yang ingin jualan atau mau berangkat ke Tapaktuan. Aku diantara penginap di losmen itu sebelum berangkat sekolah, ke negeri penghasil pala, Tapaktuan.
Kampung Handel harus dilewati, rumah penduduk yang dempet terbuat dari kayu. Kaset nama mobilnya yang bangkunya selalu melebihi kapasitas. Jatah untuk 3 orang bisa digunakan untuk 4 atau 5 orang. Dikira supir sewanya Sarden semua.
Jembatan kala itu belum ada, hanya rakit. Mobil dinaikkan di atasnya. Rakit hanya muat satu mobil, bisa bayangkan berapa lama antrinya.
Untuk sampai ke Tapaktuan wajib melewati beberapa rakit dengan jalan tanpa aspal dan berlobang, menanjak dan menurun. Kalau tidak kuat perut, siap-siap untuk muntah. Masa itu, lengkap dan luar biasa penderitaan.
Ada teman yang baru pertama kali ke Tapaktuan. Belum paham manajemen loket dan jam keberangkatan dari Rimo. Dilihatnya, mobil yang ditumpanginya tidak lagi berada di loket, dadanya berdegup.
“Mereka tinggalkan, aku,” ungkap hatinya susah.
Ia kelamaan belanja di Onan Rimo. Saat melihat mobil tidak ada, ia merasa ditinggalkan.
Tanpa pikir panjang dan bertanya ke orang lain, ia berlari sekencangnya ke arah handel dengan dada gemuruh, karena sedih, takut, dan jengkel. Setelah berlari dari losmen dengan keringat bercucuran didapatkannya mobil parkir di depan rakit.
“Alhamdulillah, tidak ditinggalkan,” ucapnya bersyukur.
Dari keterangan sopir, temanku itu bukan ditinggalkan, mobil hanya parkir menunggu antri penyeberangan yang berjam-jam. Temanku merasa lega.
Betul, ternyata ada satu setengah jam lebih, nunggu mobil naik rakit. Selain sungai yang dilewati arusnya deras dan lebar, juga rakit diderek dengan katrol temali baja yang bunyinya krek-krek.
Selama antri, penumpang dan pengguna rakit beristirahat di pondok apung yang ada di sekitar rakit penyeberangan sambil ngopi atau makan bokom.