Penulis : Kas Pani
Mengajar mestinya sebuah kegiatan yang mengasyikkan seperti tarian kata, penuh gelak tawa, dan cahaya mata yang berbinar saat ilmu berpindah dari guru ke murid.
Tapi mengapa justru kegembiraan itu kini absen di ruang kelas? Kalau pun ada, hanya kegembiraan semu, jogat-joget yang tak berketentuan. Mengapa bagi sebagian siswa, belajar malah menjadi ritual yang menakutkan, seperti berjalan di lorong gelap tanpa tahu ujungnya?
Dulu, di sudut-sudut sekolah atau di bawah pohon rindang, guru dan murid bercengkerama dalam kehangatan. Ilmu bukan sekadar hafalan, melainkan percakapan hidup yang mengalir seperti sungai.
Kini, ruang kelas sering berubah menjadi penjara kecil, dinding-dinding kaku, kurikulum yang membelenggu, dan guru yang entah karena tekanan sistem atau lelahnya jiwa berubah menjadi algojo kecil yang menuntut kepatuhan mutlak.
Siswa pun bertanya dalam diam, “untuk apa semua ini?” Mereka disodori rumus, tanggal perang, dan definisi yang harus ditelan mentah-mentah, tapi tak pernah diajak merasakan nikmatnya berpikir.
Belajar yang seharusnya seperti bermain, penuh rasa ingin tahu, salah, lalu tertawa karena kesalahan itu adalah bagian dari proses. Tapi sistem kita sering mengubur kegembiraan itu. Nilai menjadi dewa, ujian menjadi hukuman, dan guru yang mestinya pemandu kadang berubah menjadi hakim yang siap memberi vonis.
Mungkin kita lupa bahwa sebelum ilmu masuk ke otak, ia harus menyentuh hati. Sebelum murid paham rumus Pythagoras, mereka butuh merasa dihargai. Sebelum mereka menulis esai, mereka perlu tahu bahwa suara mereka berarti. Tapi betapa sering kita melihat anak-anak diam karena takut salah, atau lebih parah, mereka acuh karena merasa tak didengar.
Mengembalikan kegembiraan dalam mengajar bukanlah hal mustahil. Ia bisa dimulai dari hal sederhana, guru yang tersenyum, kelas yang memungkinkan diskusi alih-alih ceramah satu arah, dan kurikulum yang melihat siswa sebagai manusia, bukan sekadar angka. Sebab, pendidikan yang baik bukanlah tentang seberapa banyak yang diingat, tapi seberapa dalam yang dirasakan.
Dan bila kegembiraan itu kembali, mungkin kita akan melihat lagi cahaya di mata mereka, cahaya yang mengatakan, “Aku belajar, maka aku bahagia.