Home / Pendidikan

Rabu, 10 September 2025 - 22:33 WIB

Perjuangkan Etik Profesi Praktik Kedokteran, Ini yang Dibahas Dokter Heber Bombang dalam Tesisnya

mm Poppy Rakhmawaty

Dokter Heber Bombang Sapan usai sidang tesis S2 Bidang Hukum di IBLAM School of Law, Jakarta, Rabu (10/9/2025). Foto: ist.

Dokter Heber Bombang Sapan usai sidang tesis S2 Bidang Hukum di IBLAM School of Law, Jakarta, Rabu (10/9/2025). Foto: ist.

Jakarta – Dokter Heber Bombang Sapan lulus sidang tesis S2 Bidang Hukum di IBLAM School of Law, Jakarta, Rabu (10/9/2025).

Dalam sidang tersebut, Heber Bombang mengangkat tema etik profesi sebagai materi tesis dengan judul “Kekosongan Hukum terkait Etik Profesi Praktik Kedokteran Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XXI/2023)” karena beberapa alasan.

Sekjen IKABI (Ikatan Ahli Bedah Indonesia) ini menilai, etik profesi dalam praktik kedokteran merupakan fondasi moral dan profesional yang sangat penting dalam sistem pelayanan kesehatan. Etik ini tidak hanya berfungsi sebagai panduan perilaku bagi tenaga medis, tetapi juga menjadi jaminan perlindungan bagi pasien atas perlakuan yang bermartabat, aman, dan sesuai dengan standar profesi.

“Dalam praktiknya, etik profesi kedokteran mengatur hubungan dokter dengan pasien, sesama tenaga kesehatan, serta masyarakat luas, dengan tujuan utama menjaga kualitas layanan dan menegakkan integritas profesi. Etika kedokteran menuntut setiap dokter untuk bertindak atas dasar nilai-nilai kemanusiaan, kejujuran, dan tanggung jawab sosial,” kata Heber Bombang, Rabu (10/9/2025).

Dalam hal global, lanjutnya, hampir semua sistem hukum dan sistem kesehatan yang maju menjadikan kode etik profesi sebagai bagian integral dari tata kelola kesehatan. Di Indonesia, Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) menjadi standar normatif yang wajib ditaati oleh setiap dokter dalam menjalankan praktik.

“Kode etik ini mencerminkan kehendak kolektif profesi untuk mengatur dirinya sendiri secara internal guna memastikan bahwa setiap tindakan medis dilakukan bukan hanya atas dasar kompetensi teknis, tetapi juga kesadaran moral yang tinggi,” ujarnya.

Ketaatan terhadap etik profesi bahkan sering kali dianggap lebih kuat pengaruhnya daripada norma hukum, karena muncul dari kesadaran internal profesi itu sendiri (self-regulation).
Etik profesi juga menjadi instrumen penting dalam membangun dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap dunia kedokteran. Tanpa kepatuhan terhadap standar etik, praktik kedokteran bisa kehilangan legitimasi sosialnya.

“Pasien dan masyarakat tidak hanya menuntut layanan yang efektif, tetapi juga layanan yang etis dan manusiawi. Dalam hal ini, etik profesi berperan sebagai jembatan antara ilmu kedokteran yang bersifat ilmiah dan layanan kesehatan yang bersifat sosial dan moral,” jelasnya.

Lanjut dia, kegagalan dalam menerapkan standar etik dapat berdampak pada menurunnya kredibilitas profesi dan meningkatnya risiko konflik hukum maupun etik antara dokter dan pasien. Lebih lanjut, etik profesi berfungsi sebagai mekanisme pengendalian internal (internal control mechanism) yang mencegah penyalahgunaan kewenangan profesional.

“Seorang dokter memiliki otoritas dan akses yang besar terhadap informasi pribadi pasien serta keputusan medis yang berisiko tinggi, sehingga pengawasan melalui etik menjadi sangat penting. Dalam banyak kasus, sanksi etik oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) bahkan bisa lebih cepat dan tegas dibandingkan sanksi hukum pidana atau perdata. Oleh karena itu, sistem etik yang baik akan memperkuat sistem hukum, bukan menggantikannya,” paparnya.

Baca Juga :  Sekda Aceh Serahkan 109 SK PPPK Tenaga Guru di Simeulue

Namun demikian, Wakil Sekretaris Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) PB IDI Tahun 2022-2025 ini menyampaikan agar peran strategis etik profesi ini berjalan optimal, perlu adanya kepastian hukum terhadap keberadaan dan pelaksanaannya. Etik profesi tidak boleh berdiri dalam ruang hampa hukum. Negara harus memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap mekanisme etik yang telah dibangun oleh profesi.

“Ketika terjadi kekosongan atau ketidakjelasan hukum, maka pelaksanaan etik profesi bisa terganggu, bahkan melemahkan sistem pengawasan dan penegakan disiplin dalam profesi kedokteran. Dalam konteks ini, hubungan antara etik profesi dan regulasi negara harus bersifat saling melengkapi dan menguatkan,” ucap dia.

Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, pengaturan etik profesi kedokteran secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. UU tersebut menempatkan organisasi profesi, dalam hal ini Ikatan Dokter Indonesia (IDI), sebagai pemegang kewenangan dalam pengawasan dan penegakan etik kedokteran. Dalam Pasal 50 huruf c UU No. 29 Tahun 2004 ditegaskan bahwa dokter dan dokter gigi wajib mematuhi dan melaksanakan ketentuan etik profesi, yang menjadi bagian dari tanggung jawab profesionalnya. Pasal 55 ayat (1) menyatakan bahwa pembinaan terhadap pelaksanaan praktik kedokteran dilakukan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) bekerja sama dengan organisasi profesi, yang menunjukkan adanya kolaborasi institusional dalam menjaga mutu praktik kedokteran.

UU No. 29 Tahun 2004 juga menegaskan peran organisasi profesi dalam memberikan rekomendasi untuk registrasi dan perpanjangan Surat Tanda Registrasi (STR), yang menjadi salah satu bentuk kontrol etik dan kompetensi. Mekanisme pengawasan etik juga dijalankan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) yang berada di bawah naungan organisasi profesi.

“Sebelum UU Kesehatan 2023, struktur pengaturan etik bersifat self-regulatory, dengan negara hanya bertindak sebagai fasilitator dan pengesah, bukan pengendali langsung.
Namun, diberlakukannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan membawa perubahan yang cukup mendasar dalam pengaturan etik profesi,” kata Heber.

UU ini tidak lagi menyebutkan secara eksplisit peran organisasi profesi dalam penegakan etik sebagaimana dalam UU Praktik Kedokteran. Pada Pasal 314 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2023 disebutkan bahwa tenaga medis dan tenaga kesehatan wajib mematuhi etika profesi, tetapi tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai siapa yang berwenang mengatur dan menegakkan etika tersebut. Bahkan, dalam beberapa pasal lainnya, seperti Pasal 325, pembinaan dan pengawasan tenaga medis dan tenaga kesehatan sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah, tanpa menyebut peran organisasi profesi.

Baca Juga :  Stella Christie Dorong Penguatan Kolaborasi Vokasi dan Industri di Universitas Hasanuddin

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 130/PUU-XXI/2023 menjadi titik krusial dalam perdebatan tentang batas peran negara dan organisasi profesi dalam mengatur serta menegakkan etik profesi kedokteran. Permohonan pengujian ini diajukan oleh sejumlah pemohon, termasuk organisasi profesi kedokteran, yang merasa adanya pengurangan peran mereka secara signifikan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Mahkamah dalam putusan tersebut menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap sejumlah norma, termasuk norma yang menyangkut pembinaan, pengawasan, dan pelaksanaan etik profesi yang semula diambil alih oleh pemerintah tanpa keterlibatan organisasi profesi.

Untuk itu, hasil dari penelitiannya, bahwa pengaturan pelaksanaan etik profesi praktik kedokteran dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 menunjukkan adanya pergeseran fundamental dalam struktur hukum kesehatan Indonesia, khususnya terkait kewenangan organisasi profesi. Jika sebelumnya melalui UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, fungsi etik secara jelas berada dalam ranah organisasi profesi, maka dalam UU Kesehatan 2023 pengaturan tersebut mengalami penyusutan peran secara signifikan dan cenderung mengalihkan fungsi pengawasan etik kepada lembaga negara seperti Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI).

“Ketentuan tersebut menimbulkan kontroversi dan resistensi dari kalangan profesi medis karena dipandang mereduksi otonomi profesi serta melemahkan sistem etik yang telah mapan. Dalam konteks ini, organisasi profesi seperti IDI, POGI, dan lainnya berpotensi kehilangan legitimasi formal untuk menegakkan kode etik, padahal peran mereka selama ini bersifat sentral dan substansial dalam menjaga mutu dan integritas layanan medis,” papar Heber.

Ketidakhadiran aturan pelaksana lebih lanjut juga menambah kaburnya pembagian kewenangan, sehingga menimbulkan kekosongan hukum dalam praktik yang dapat berimplikasi pada ketidakpastian perlindungan hukum bagi dokter dan pasien. Oleh karena itu, perlu ada formulasi regulasi turunan yang mengakomodasi prinsip kemitraan antara negara dan profesi dalam penegakan etik secara adil dan konstitusional.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XXI/2023 menjadi contoh konkret bagaimana teori kepastian hukum dan teori kekosongan hukum dapat dioperasikan secara bersamaan untuk menilai efektivitas norma dalam sistem hukum nasional. Dari perspektif kepastian hukum, putusan MK berfungsi sebagai koreksi terhadap ketidakjelasan norma dalam UU Kesehatan 2023 yang telah mengaburkan posisi etik organisasi profesi; MK secara tegas menegaskan bahwa kewenangan etik tidak dapat sepenuhnya dipindahkan dari organisasi profesi karena berkaitan erat dengan hak konstitusional dalam menjalankan profesi. Sementara itu, dari sisi teori kekosongan hukum, putusan tersebut juga mengisi celah normatif yang ditinggalkan oleh UU yang tidak mengatur secara eksplisit mekanisme etik profesi, dengan memberikan arahan normatif agar fungsi etik tetap dijalankan oleh organisasi profesi.

Baca Juga :  Kadisdik Ajak BSI Perkuat Literasi Keuangan Syariah di Aceh

“Namun, tanpa adanya regulasi turunan yang mendetail, pengisian kekosongan hukum oleh putusan yudisial tetap menghadapi tantangan dalam eksekusi karena tidak memiliki instrumen teknis yang operasional. Oleh karena itu, secara normatif dan yuridis, putusan MK harus dipandang sebagai urgensi untuk mempercepat pembentukan regulasi pelaksana yang menjamin perlindungan hak konstitusional tenaga medis dan memastikan sistem etik yang legitim, adil, dan konstitusional dalam praktik kedokteran nasional,” jelasnya.

Dirinya berharap agar Pemerintah dan pembentuk peraturan perundang-undangan sebaiknya segera menyusun peraturan pelaksana yang jelas, tegas, dan partisipatif guna mengatur mekanisme etik profesi praktik kedokteran pasca-berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Regulasi ini perlu mengembalikan serta mengakui kembali peran dan kewenangan organisasi profesi dalam menetapkan dan menegakkan kode etik profesi sebagai bagian dari prinsip otonomi profesi yang dilindungi konstitusi. Dalam proses penyusunan regulasi tersebut, penting untuk melibatkan organisasi profesi secara aktif dan substantif sebagai mitra negara, agar peraturan yang dihasilkan tidak hanya sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, tetapi juga mencerminkan kebutuhan nyata dan pengalaman praktik kedokteran di lapangan.

Selain itu, peraturan pelaksana harus memuat prosedur etik yang adil, transparan, serta memberikan jaminan kepastian hukum bagi dokter dan perlindungan hak pasien. Dengan demikian, sistem pengawasan etik dalam dunia kedokteran akan berjalan secara efektif, legitim, dan konstitusional, serta memperkuat mutu layanan kesehatan nasional.

Sebagai tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 130/PUU-XXI/2023, pembentuk kebijakan dan lembaga terkait perlu memahami pentingnya teori kepastian hukum dan kekosongan hukum sebagai pijakan dalam merancang ulang sistem penegakan etik profesi. Teori kepastian hukum mengharuskan setiap norma hukum dapat diprediksi, diakses, dan dilaksanakan dengan logis oleh subjek hukum, sehingga pembiaran atas ketidakjelasan wewenang etik pasca putusan MK berisiko merusak prinsip-prinsip tersebut. Sementara itu, teori kekosongan hukum harus mendorong tindakan legislasi atau regulasi untuk mengisi celah yang ada agar norma hukum tidak hanya bersifat deklaratif tetapi juga operasional.

“Oleh karena itu, sangat disarankan agar pemerintah segera menyusun aturan pelaksana yang memperjelas posisi organisasi profesi dalam sistem etik, serta mengintegrasikan hasil penafsiran MK ke dalam norma hukum positif, guna mencegah konflik tafsir dan praktik ketidakpastian di lapangan. Proses legislasi ini juga harus menjamin perlindungan hak-hak konstitusional tenaga medis dan menjamin keberlangsungan profesionalisme kedokteran sebagai bagian dari sistem kesehatan yang responsif terhadap hukum dan etika,” tutur Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Hukum Universitas Borobudur tersebut.

Editor: Poppy RakhmawatyReporter: Poppy Rakhmawaty

Share :

Baca Juga

Pemerintah Aceh

Plt. Sekda Aceh Tegaskan Komitmen Pemerintah Tingkatkan Kualitas Pendidikan

Pendidikan

Dinas Pendidikan Lhokseumawe Larang Sekolah Kutip Dana Perpisahan dan Wisuda

Kesehatan

Para Kepala Sekolah Sampaikan Prestasi Selesaikan 100 Persen Vaksinasi Covid-19

Daerah

Disdikbud Aceh Singkil : Dari total 281 pendaftar untuk program Beasiswa Afirmasi , hanya 20 kuota yang tersedia

Pendidikan

Disdik Aceh Tegaskan Tidak Ada Biaya Pendaftaran Ulang SPMB 2025

Pemerintah

Kadisdik Aceh: Wujudkan Sekolah Vokasi Berkualitas dan Tingkatkan Mutu Lulusan SMA dan SMK

Daerah

Tingkatkan Literasi Siswa, Dispersip Aceh Besar Gelar Lomba Bertutur

Pendidikan

Khawatir Perbubahan Budaya, MAA Aceh Ingatkan Kembali Proses Adat Pernikahan Semestinya Diterapkan