Home / Advetorial

Minggu, 6 April 2025 - 18:00 WIB

Festival Panen Kopi: Merawat Budaya Desa di Aceh Tengah

Syaiful Anshori

Ibu-ibu ikut Festival Panen Kopi. dok. Ist

Ibu-ibu ikut Festival Panen Kopi. dok. Ist

Takengon — Aroma kopi arabika menyeruak sejak pagi dari lembah-lembah hijau di kaki Bukit Barisan. Udara dingin yang menggigit terasa bersahabat saat masyarakat Desa Gayo Lut, Kecamatan Atu Lintang, mulai bersiap menyambut momen yang paling mereka tunggu setiap tahun: Festival Panen Kopi Budaya Desa.

Di tengah hamparan kebun kopi yang memerah ranum, warga tampak sibuk menyiapkan berbagai perlengkapan ritual adat. Bagi masyarakat Gayo Lut, festival ini bukan sekadar pesta panen. Ia adalah ungkapan syukur kepada Tuhan, penghormatan kepada alam, dan penghargaan terhadap tradisi yang telah dijaga turun-temurun.

“Panen kopi bagi kami bukan hanya soal ekonomi. Setiap butir kopi yang kami petik adalah anugerah,” ujar Imum Mukim H. Ramli Gayo (62), tokoh adat setempat, Minggu (6/4/2025). “Karena itu, kami awali panen dengan doa bersama dan ritual adat, agar hasilnya membawa berkah bagi seluruh kampung.”

Ritual adat yang disebut Ramli Gayo dikenal sebagai Munujuh Tahun, tradisi sakral yang menjadi pembuka musim panen. Prosesi ini digelar di meunasah (surau) desa dan diikuti oleh seluruh warga — tua, muda, laki-laki, perempuan, bahkan anak-anak.

Baca Juga :  Pantai Mantak Tari Jadi Lokasi Wisata Favorit Warga Pidie

Suasana pagi itu terasa khidmat. Para perempuan membawa ulek-ulek berisi biji kopi pertama yang telah disangrai, simbol hasil pertama yang dipersembahkan kepada Sang Pencipta. Sementara itu, kaum laki-laki menyiapkan hidangan khas seperti opor bebek, pulut kuning, dan gule kemulien, makanan tradisional yang selalu hadir dalam setiap perayaan penting di tanah Gayo.

Doa-doa dipanjatkan bersama, memohon agar hasil panen melimpah, dijauhkan dari hama, dan membawa keberkahan bagi seluruh warga desa. Dalam budaya Gayo, kopi bukan sekadar tanaman, melainkan wujud hubungan spiritual antara manusia dan alam.

Festival Panen Kopi
Buah kopi yang siap di panen. dok. Ist

“Setiap kali kami menanam dan memanen kopi, kami percaya ada tangan Tuhan yang bekerja di dalamnya,” tutur Ramli lirih.

Setelah prosesi doa selesai, suasana berubah menjadi lebih semarak. Alunan Didong Gayo — seni tutur dan nyanyian khas dataran tinggi — menggema di halaman desa. Irama rebana berpadu dengan lantunan syair-syair penuh makna: tentang kebersamaan, kerja keras, dan rasa cinta terhadap tanah leluhur.

Anak-anak muda tampil menari dengan pakaian adat Gayo berwarna cerah, sementara para orang tua duduk tersenyum menyaksikan generasi penerus menjaga warisan budaya mereka. Di sela pertunjukan, aroma kopi sangrai kembali tercium, menandai bahwa perayaan ini bukan hanya pesta budaya, tapi juga pesta rasa.

Baca Juga :  Dr. Edi Yandra Raih Anugerah Tokoh Penggerak Literasi: Bukti Dedikasi Membangun Budaya Literasi di Aceh

“Lewat festival ini, kami ingin anak-anak tahu bahwa kopi bukan hanya minuman,” kata Ramli sambil menatap para pemuda yang menari. “Kopi adalah jati diri kami. Ia menyatukan adat, ekonomi, dan sejarah masyarakat Gayo.”

Festival Panen Kopi juga menjadi ajang edukasi bagi wisatawan yang ingin mengenal lebih dekat perjalanan kopi Gayo — dari ladang hingga ke cangkir. Wisatawan bisa ikut memetik buah merah, belajar menyangrai biji kopi secara tradisional, hingga menikmati seduhan kopi Gayo langsung di rumah-rumah warga.

Kegiatan ini selalu menjadi daya tarik tersendiri. Banyak pengunjung dari luar daerah, bahkan mancanegara, yang datang untuk menyaksikan langsung prosesnya. Mereka bukan hanya menikmati rasa kopi, tapi juga menyelami kisah dan budaya di baliknya.

“Yang menarik dari Gayo Lut bukan hanya kualitas kopinya, tapi filosofi yang tumbuh bersamanya,” ujar salah satu wisatawan asal Medan, yang mengaku kagum dengan kearifan lokal masyarakat setempat.

Pemerintah desa bersama kelompok pemuda kini tengah mendorong pengembangan wisata berbasis budaya dan lingkungan. Tujuannya sederhana: menjaga kelestarian kopi dan budaya Gayo tanpa mengorbankan alam yang menjadi sumber kehidupan.

Baca Juga :  Peserta Tour de Aceh Etape I Mulai Latihan Adaptasi

Melalui festival ini, generasi muda diajak untuk mencintai kopi bukan hanya sebagai komoditas ekonomi, tetapi juga sebagai identitas dan simbol kebersamaan. Setiap tahunnya, jumlah peserta dan wisatawan terus bertambah — pertanda bahwa tradisi ini semakin dikenal luas.

“Kami ingin agar kopi Gayo dikenal bukan hanya karena rasanya yang nikmat, tetapi karena nilai-nilai yang tumbuh di baliknya,” pungkas Ramli Gayo penuh harap.

Ketika sore menjelang dan kabut perlahan turun dari bukit, aroma kopi kembali memenuhi udara. Di beranda rumah-rumah panggung, warga dan wisatawan duduk berdampingan, menikmati seduhan kopi Gayo yang hangat sambil berbagi cerita.

Festival Panen Kopi di Gayo Lut adalah cermin dari kehidupan masyarakat yang hidup selaras dengan alam — bekerja keras tanpa kehilangan rasa syukur, menjaga tradisi tanpa menolak kemajuan.

Karena di sini, di tanah Gayo yang sejuk dan subur, secangkir kopi bukan sekadar minuman, melainkan cerita tentang cinta, kerja, dan doa yang diseduh bersama waktu. [Adv]

Editor: Amir SagitaReporter: Syaiful Anshori

Share :

Baca Juga

Advetorial

Disdik Aceh Dorong Prestasi Siswa OSN Lewat Kelas Lanjutan dan Komunitas Belajar

Advetorial

Kadisdik Aceh Dorong Pengembangan Budaya Industri di SMK Melalui Peningkatan Kapabilitas Kepala Sekolah

Advetorial

Almuniza Harap Firefly Promosikan Wisata dan Budaya Aceh

Advetorial

Disbudpar Aceh Sajikan Pekan Budaya dan Tradisi Barsela di Subulussalam, Catat Tanggalnya!

Advetorial

Aceh Titik Terpenting Jalur Rempah Nusantara

Advetorial

Ngabuburide dan Bukber Masyarakat Ramaikan Aceh Festival Ramadhan 2022

Advetorial

Lhokseumawe Bersih dan Berbenah: Langkah Awal Sayuti Abubakar Memimpin Kota

Advetorial

Peserta Tour de Aceh Etape I Mulai Latihan Adaptasi