Sigli – Kelangkaan LPG 3 kilogram di Kabupaten Pidie bukan lagi peristiwa kebetulan. Ia terjadi berulang, meluas hampir di seluruh kecamatan, dengan pola yang nyaris sama: gas menghilang dari pangkalan resmi, muncul di tangan warga dengan harga di atas ketentuan, lalu dibiarkan berlalu tanpa sanksi.
Sejak banjir melanda Aceh dan sejumlah jembatan putus, alasan mahalnya ongkos angkut dijadikan dalih utama. Namun penelusuran di lapangan menunjukkan, kelangkaan dan mahalnya gas 3 kilogram di Pidie telah terjadi jauh sebelum bencana. Banjir hanya memperkuat narasi lama yang sudah mapan.
Harga Eceran Tertinggi (HET) LPG 3 kilogram di Pidie ditetapkan Rp18 ribu per tabung. Fakta lapangan berkata lain. Di Grong-grong, warga membeli gas seharga Rp22 ribu. Di Caleu, Kecamatan Indrajaya, harga Rp22 hingga Rp23 ribu. Di Muara Tiga dan Laweung, tembus Rp25 ribu. Bahkan ada laporan penjualan hingga Rp28–30 ribu per tabung.
Penjualan itu tidak dilakukan sembunyi-sembunyi. Beberapa pangkalan menjual di depan umum. Warga memprotes. Tapi tidak ada perubahan.
Yang paling mengundang tanda tanya: pelanggaran harga ini bukan kejadian sporadis. Ia terjadi hampir serempak, dengan rentang harga yang relatif sama. Pola seperti ini sulit dijelaskan sebagai kebetulan pasar semata.
Jika satu pangkalan menjual mahal, bisa jadi kesalahan individu. Tapi jika banyak pangkalan melakukan hal yang sama, pertanyaannya bergeser: siapa yang mengendalikan sistem?
Dalam beberapa kasus, penyaluran gas 3 kilogram bahkan disaksikan aparat kepolisian setempat. Namun tidak ada teguran. Tidak ada penyegelan. Tidak ada proses hukum. Diam menjadi respons yang paling konsisten.
Penelusuran media ini menemukan tidak adanya satu pun pangkalan di Pidie yang dicabut izinnya sepanjang keluhan masyarakat merebak. Padahal, aturan memungkinkan sanksi administratif hingga pemutusan kerja sama bagi pangkalan yang menjual di atas HET.
Di sinilah kecurigaan publik menguat. Dugaan adanya “uang pelicin” atau “upeti” dalam rantai distribusi LPG subsidi mencuat dari percakapan warga. Dugaan ini memang belum terbukti secara hukum. Namun ia lahir dari fakta paling telanjang: pelanggaran terjadi terang-terangan, dan negara memilih tidak hadir.
Pemerintah pusat sendiri, sepanjang 2025, mengakui puluhan kasus penyalahgunaan LPG 3 kilogram di berbagai daerah—mulai dari penimbunan, pengoplosan, hingga pemindahan isi tabung untuk kepentingan industri. Jika praktik semacam ini terjadi secara nasional, mengapa Pidie harus diasumsikan bersih tanpa audit terbuka?
Di tingkat daerah, Disperindagkop Pidie mengakui HET Rp18 ribu per tabung. Namun ketika ditanya soal sanksi terhadap pangkalan yang menjual di atas ketentuan, tidak ada penjelasan tegas. Sikap diam ini justru mempertebal persepsi publik bahwa pengawasan hanya berhenti di spanduk dan surat edaran.
Juru bicara Pemerintah Kabupaten Pidie, Andi Firdaus menyebut, bupati telah mengeluarkan surat edaran agar pangkalan menjual sesuai HET. Namun, surat itu tak mengubah perilaku di lapangan. Pemerintah daerah juga menyebut penindakan sebagai ranah Pertamina.
Pernyataan ini memunculkan persoalan mendasar: jika semua pihak berlindung di balik kewenangan, siapa yang bertanggung jawab melindungi rakyat?
Bagi warga miskin, LPG 3 kilogram bukan komoditas biasa. Ia adalah alat bertahan hidup. Kenaikan harga Rp5–7 ribu per tabung berarti pengorbanan di pos lain—beras, lauk, atau biaya sekolah anak. Bagi pelaku UMKM kecil, gas mahal berarti ancaman gulung tikar.
Subsidi yang seharusnya menyelamatkan justru bocor di tengah jalan.
Investigasi ini menemukan tidak adanya transparansi data distribusi LPG di Pidie yang bisa diakses publik. Berapa kuota tiap kecamatan, berapa pangkalan aktif, berapa realisasi penyaluran—semua tertutup. Dalam ruang gelap seperti ini, penyimpangan tumbuh subur.
Tanpa audit terbuka, tanpa penindakan nyata, dan tanpa keberanian politik, kelangkaan LPG 3 kilogram akan terus berulang. Rakyat akan terus disalahkan karena “panic buying”, sementara sistem distribusi yang timpang tak pernah disentuh.
Kelangkaan gas 3 kilogram di Pidie bukan sekadar soal logistik. Ia adalah potret relasi kuasa: ketika segelintir pihak menguasai subsidi, dan negara terlalu sibuk beralasan.
Pertanyaannya kini tidak lagi teknis, melainkan politis dan moral:
siapa yang dilindungi dalam distribusi gas bersubsidi—rakyat, atau mereka yang bermain di balik tabung hijau?
Editor: Amiruddin. MKReporter: Amir Sagita










