Home / Ekbis / Peristiwa

Minggu, 20 Juli 2025 - 18:19 WIB

Berikut Kata Pengamat, Produsen dan Pedagang terkait Isu Beras Oplosan

Farid Ismullah

Tumpukan karung beras. (Foto : Istimewa).

Tumpukan karung beras. (Foto : Istimewa).

Jakarta – Polemik beras oplosan yang mencuat sejak awal Juli 2025 terus menyebar bak bola salju. Sorotan media yang intens memantik keresahan di tengah masyarakat, dan mengganggu stabilitas pasar komoditas pangan.

Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, menilai kegaduhan ini tidak hanya berdampak pada psikologi konsumen, tetapi juga menimbulkan ketidakpastian usaha bagi para pelaku di sektor perberasan.

“Pemberitaan yang mengaitkan beras oplosan dengan risiko kesehatan membuat konsumen makin waswas,” Kata Khudori dalam keterangannya, Minggu, 20 Juli 2025.

Ia menyebut, keresahan konsumen berujung pada penurunan penjualan beras bermerek di sejumlah daerah. Bahkan, sebagian pedagang menghentikan penjualan produk tertentu karena takut disalahkan, meski belum ada verifikasi atas tuduhan pencampuran beras pemerintah atau SPHP ke dalam beras premium.

Menurutnya, pernyataan Menteri Pertanian terkait dugaan 80% beras SPHP dioplos menjadi pemicu utama kekacauan ini. Padahal, jika benar angka tersebut terjadi, maka volume yang dicurigai mencapai 1 juta ton dari 1,4 juta ton beras SPHP yang disalurkan pada 2024.

“Satu juta ton dikalikan Rp2.000 (per kg), jadi Rp2 triliun. Itulah kerugian negara dalam satu tahun akibat kecurangan ini,” kata Khudori.

Kendati demikian, ia menekankan pentingnya penjelasan rinci soal waktu kejadian dan metodologi penghitungan. Tanpa kejelasan itu, ruang interpretasi publik menjadi liar dan memperkeruh situasi pasar.

Dari sisi teknis, Khudori juga menyentil pemahaman publik yang masih keliru soal istilah “oplosan”. Ia menjelaskan bahwa mencampur beras dalam proses produksi bukan hal tabu, bahkan telah menjadi praktik umum untuk memenuhi standar mutu dan preferensi konsumen.

“Oplos-mengoplos adalah bagian dari proses bisnis. Hanya saja, kata ‘oplos’ sudah kadung bercitra negatif dan buruk,” jelasnya.

Ia menjelaskan bahwa proses pencampuran dalam industri beras dilakukan untuk mencapai kualitas tertentu, termasuk dari sisi tekstur, rasa, hingga standar derajat sosoh dan kadar patahan. Bahkan sejak di hulu, bahan baku beras umumnya sudah berasal dari varietas yang beragam dan tidak murni satu jenis.

Dalam pandangannya, kekhawatiran publik seharusnya tidak diarahkan pada aktivitas teknis mencampur, tetapi pada niat menipu di baliknya. Misalnya, saat beras kualitas rendah dijual seolah premium, atau ditambahkan zat berbahaya.

“Mencampur atau mengoplos yang dilarang adalah untuk menipu,” tegas Khudori.

Lebih jauh, ia mengkritik pendekatan keamanan yang selama ini diambil pemerintah dalam merespons isu beras oplosan. Menurutnya, pelibatan Satgas Pangan yang bersifat represif justru menciptakan suasana ketidakpercayaan terhadap pelaku usaha.

“Pendekatan keamanan ini sudah dilakukan sejak 1950-an dan tidak berhasil,” ujarnya.

Sebagai solusi, Khudori mendorong agar edukasi publik menjadi strategi utama. Ia menyarankan agar Ditjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga di Kementerian Perdagangan berada di garda terdepan.

Baca Juga :  Penghargaan Media untuk Kapolda Aceh

Penegakan hukum, menurutnya, sebaiknya menjadi langkah lanjutan jika ditemukan indikasi pelanggaran

Curhat produsen beras: Tercekik harga gabah, tercoreng isu oplosan

Industri beras nasional sedang “sakit-sakitan”. Seiring kegaduhan yang timbul karena polemik beras oplosan, sejumlah produsen beras memutuskan untuk menyetop menggiling gabah dan memproduksi andalan mereka. Tingginya harga gabah jadi alasan produsen menunda produksi.

Teranyar, langkah itu diambil kilang padi Sinar Harapan yang berbasis di Deli Serdang, Sumatera Utara. Dalam sebuah pengumuman kepada para mitra pedagang, Sinar Harapan mengungkap akan menghentikan sementara produksi dan distribusi beras bermerek Si Jempol.

“Keputusan ini diambil karena kelangkaan dan kenaikan harga bahan baku yang menyebabkan biaya produksi melebihi harga eceran tertinggi. Demi mematuhi regulasi dan menjaga kerberlangsungan usaha, kami memilih untuk sementara melanjutkan produksi,” tulis Sinar Harapan.

Langkah serupa sebelumnya diambil pengusaha beras di Jawa Tengah dan Jawa Timur. PB Tunggal Perkasa yang berbasis di Jember, misalnya, sudah menghentikan produksi beras bermerek Pin-Pin, Violet, dan Wippie terhitung sejak 8 Juli 2025.

Dari Pasuruan, pengumuman serupa juga disebar CV Barokah Gemilang kepada para mitra pedagang. Sejak 2 Juli 2025, mereka menyetop produksi dan distribusi beras bermerek Mega Hijau, Mega Orange, dan Carica.

“Keputusan yang berat ini harus kami ambil demi menjaga kondisi perusahaan ke depan serta menjaga komitmen kami untuk mematuhi regulasi dan aturan yang berlaku dari pemerintah,” jelas CV Barokah Gemilang dalam surat edaran mereka.

Situasi itu dibenarkan pengusaha beras dari PT Belitang Panen Raya, Johan Winata. Menurut Johan, saat ini banyak penggilingan yang sedang berjibaku untuk menutupi ongkos produksi atau harga pokok penjualan (HPP) yang melampaui HET.

“HPP gabah naik dari Rp6.000 jadi Rp6500 tanpa rafaksi sehingga menurunkan rendeman dan kualitas beras. Situasi diperparah karena naiknya HPP gabah itu, tapi HET berasnya tidak naik. Poin inilah yang sebetulnya menurunkan kualitas beras,” kata Johan.

Harga gabah kering panen (GKP) memang terus naik sejak tiga tahun terakhir. Pada 2022, harga GKP di tingkat petani sebesar Rp4.200 per kilogram. Pada 2023 dan 2024, harga GKP kembali naik berturut-turut menjadi Rp5.000 dan Rp6.000 per kilogram. Tahun ini, GKP bercokol di harga Rp6.500 per kilogram.

Seperti produsen lainnya, PT Belitang Panen Raya juga turut terdampak kenaikan harga GKP. Perusahaan yang berbasis di Palembang, Sumatera Selatan itu sudah menyetop produksi beras medium Raja Biru, Mangga, dan Naruto Kuning sejak 7 Juli 2025.

Baca Juga :  Masyarakat Kecewa, Pemerintah Tidak Mampu selesaikan Konflik Buaya di Aceh Singkil

Selain harga jual yang “tak masuk akal”, menurut Johan, penggilingan juga sedang ketar-ketir karena stok gabah untuk produksi menipis. Pasalnya, mayoritas hasil panen masa tanam pertama 2025 diserap oleh Bulog.

Demi mewujudkan swasembada, menurut Johan, semua penggilingan wajib menyetor sebagian beras mereka ke Bulog. Per 29 Mei 2025, stok beras Bulog telah menyentuh 4 juta ton, tertinggi sejak badan itu didirikan pada 1967. Lonjakan cadangan beras pemerintah (CBP) terutama terjadi pada periode Januari-Mei 2025, mencapai 1,8 juta ton.

“Ya, kosong di semua penggilingan, mau besar maupun kecil. Harga mulai naik. Nah, kalau harga naik, apakah pengusaha beras disalahkan lagi? Dikatakan mengoplos dan tidak sesuai standar dan merugikan konsumen? Konsumen mana yang dirugikan?” tanya Johan.

Sebelumnya, Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman mengumumkan hasil investigasi lapangan Satgas Pangan mengenai dugaan maraknya beras oplosan yang beredar di pasar. Dari 268 merek beras yang diuji di 13 laboratorium di 10 provinsi, menurut Amran, sebanyak 212 merek ditemukan bermasalah.

Data Satgas Pangan menunjukkan sebanyak 85,56% beras premium tidak sesuai mutu, 59,78% dijual di atas HET, dan 21% memiliki berat kurang dari yang tertera di kemasan. Amran menyebut rakyat dirugikan kisaran Rp99,35 triliun per tahun akibat praktik beras oplosan itu.

Jika tidak ada perubahan kebijakan, Johan memprediksi beras kualitas medium tak akan lagi beredar di pasaran dalam beberapa bulan ke depan. Produsen tak mungkin berani memproduksi beras jika HET tidak naik dan harga gabah tak turun.

“Nanti di pasar yang ada cuma beras SPHP (stabilisasi pasokan dan harga pangan) Bulog. Silakan dinilai, sesuai standar atau tidak? Dan siapa yang berani mengontrol kualitas beras SPHP?” tanya dia.

Johan mengaku heran pengusaha beras terus-menerus ditekan pemerintah. Citra yang kadung terbangun, kata dia, seolah pengusaha beras dan penggilingan adalah mafia pangan. “Padahal, penggilingan adalah garda terdepan pascapanen gabah yang mestinya dirangkul oleh Pak Menteri Pertanian,” imbuh dia.

Cerita serupa juga diungkap Fegi Sudariyanto, pengusaha beras dari CV. Barokah Gemilang yang berbasis di Pasuruan. Menurut dia, cadangan gabah untuk produksi yang mereka miliki hanya bisa bertahan untuk seminggu ke depan.

“Saat ini, kita banyak kehilangan pelanggan karena tidak bisa banyak untuk suplai ke toko-toko yang mengakibatkan turunnya omset. Produsen yang berhenti produksi beras medium juga sudah cukup banyak,” kata Fegi, Kamis (17/7).

Menurut Fegi, bahan baku beras langka karena panen raya sudah usai. Di lain sisi, stok beras di penggilingan juga tipis lantaran mayoritas diserap oleh Bulog. Banyak produsen juga memutuskan mengirit produksi lantaran ongkos produksi sudah melebihi HET.

Baca Juga :  Polisi dan Keluarga Gagalkan Seorang Gadis yang akan Bunuh Diri

“Bahkan ada juga yang setop produksi karena harga bahan baku gabah hari ini tidak dikonversikan (untuk memproduksi) beras medium. (Biaya produksi) sudah melewati HET sehingga produsen harus menjaga harga jual sesuai HET, sesuai aturan,” kata Fegi.

CV Barokah Gemilang, kata Fegi, hingga kini tetap beroperasi karena pertimbangan “kemanusiaan”. Ia tak ingin pegawainya menganggur dan sebisa mungkin menyerap gabah dari petani lokal.

“Meskipun hasilnya sedikit-sedikit karena kalau ditahan juga hasil panennya bisa rusak. Jadi, sementara kita produksi beras premium saja meskipun merugi sambil menunggu situasi kembali normal,” tuturnya.

Di Aceh, Ibnu Ilyas, owner Toko Tukang Sayur BKN-Pdin di Pasar Almahirah Lamdingin mengatakan, kenaikan harga kebutuhan pokok utama ini telah berlangsung bertahap sejak tiga minggu terakhir.

Menurut Ibnu Ilyas, kondisi beras di Kota Banda Aceh tidak hanya melambung tinggi tetapi juga mengalami kelangkaan.

“Sejak seminggu terakhir malah sudah langka,” ungkap Ibnu Ilyas, Jumat (18/7/2025) malam.

Toko Tukang Sayur BKN-Pdin adalah satu dari 5 pedagang beras di Pasar Almahirah Lamdingin Banda Aceh yang merupakan mitra dari Bulog.

Karenanya, BKN-Pdin bisa mengatasi kelangkaan beras itu dengan menebus beras Bulog menggunakan fasilitas SPHP atau Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan.

SPHP ini merupakan program pemerintah yang dijalankan sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

“Dalam minggu ini, sudah dua kali kami menebus beras SPHP ke Bulog. Sekali tebus sebanyak 2 ton,” ujar Ibnu yang biasa juga disapa Bang Qein.

Ia menyebutkan, beras SPHP Bulog ini hanya tersedia dalam kemasan 5 kilogram, dengan harga Rp 65.000.

“Hanya mitra Bulog yang bisa menebus beras ini. Karena untuk menghindari pengoplosan dan penyelewengan,” ungkap Ibnu.

Ibnu Ilyas mengungkapkan, berdasarkan keterangan pihak kilang padi yang biasa memasok beras ke tokonya, tingginya harga beras dalam beberapa minggu ini disebabkan karena melejitnya harga gabah yang mencapai 9.000 per kilogram.

Bukan hanya tinggi, pihak kilang padi juga kesulitan mendapatkan gabah.

Biasanya, lanjut Ibnu, di toko miliknya stok dan putaran penjualan beras dari berbagai merek, mencapai 3-5 ton putaran per minggu.

“Hari ini, stok di toko kami paling ada sekitar 300 kg. Untungnya ada beras SPHP dari Bulog yang masih tersisa sekira 1 ton,” kata dia.

Sementara beberapa merek terkenal dari kilang padi di Aceh Besar dan Pidie yang biasanya dijual di tokonya, kini sudah kosong.

“Kondisi ini sudah terjadi sejak seminggu terakhir. Merek apa pun yang kami minta tidak pernah mencukupi,” ujar Ibnu

Editor: Amiruddin. MK

Share :

Baca Juga

Ekbis

Sufriadi: Harga ikan Tenggiri kualitas ekspor terus mengalami penurunan Harga  

Peristiwa

Pungli di PPDB Madrasah di Aceh, SAPA Sebut Ini Pelanggaran Berat

Ekbis

Kemendag: Pengendalian Produk Tembakau Perlu Dukungan Industri Hulu dan Hilir  

Ekbis

BSI Aceh Raih Penghargaan Mitra Perbankan Terbaik dari Universitas Syiah Kuala

Daerah

Yahya Damanik Juara Mixology Coffee Competition dengan Timphan Drink

Daerah

Bank Aceh Hadirkan Gampong Ramadhan di Masjid Raya Baiturrahman

Ekbis

Meningkatkan Penghidupan Masyarakat Adat Melalui Pengolahan Sagu

Internasional

DPR Kecam Keras Eksploitasi WNI Jadi Scammer di Kamboja