Banda Aceh – Siang itu tepat pada pukul 12.50 WIB terdengar adzan berkumandang dari sebuah masjid dengan bangunan semi permanen yang tampak sederhana. Dengan halaman yang tidak begitu luas, bangunan tersebut masih berdiri dan berfungsi dengan baik untuk digunakan sebagai tempat masyarakat sekitar melaksanakan ibadah.
Ditengah gerimis kecil, tampak beberapa laki-laki dewasa juga para wanita yang lanjut usia berjalan mendekati area masjid yang berada di ujung perkampungan. Beberapa dari mereka ada yang berlari kecil, menggunakan penutup kepala dari anyaman daun, atau bahkan membawa payung kecil supaya tidak kebasahan. Mereka mulai berwudhu disebuah bak besar yang menampung air tepat dibagian pintu masuk masjid.
Komplek Masjid Bung Sidom, begitu nama yang tertulis di area depan masjid ini. Masjid yang berlokasi di Desa Bung Sidom, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar ini masih berdiri tegak setelah mengalami beberapa kali renovasi serta perluasan bangunan untuk menampung jamaah. Kendati demikian, renovasi yang dilakukan tetap tidak mengubah fondasi dan tiang asli semenjak pertama masjid ini dibangunan.
Berdiri di tanah wakaf dari lima desa sekitar, bangunan yang berukuran sekitar 7,50 x 80 meter ini memiliki cerita sejarah yang cukup panjang. Tidak ada literatur pasti mengenai kapan masjid ini pertama kali dibangun.
Namun dikisahkan pada tahun 1834, masjid yang memiliki atap rumpang tiga dari rumbia ini sempat dibakar pada masa penjajahan Belanda lantaran menjadi tempat para pejuang berkumpul dan mengatur strategi perlawanan. Sehingga diperkirakan masjid ini berusia hampir atau bahkan lebih dari 200 tahun. Pada insiden pembakaran tersebut, masjid ini tidak sepenuhnya musnah. Setidaknya tiang dan denah masjid ini masih tersisa dan dapat kita saksikan hingga hari ini.
Setelah pembakaran tersebut, masyarakat yang terdiri dari empat pemukiman sekitar berinisiatif untuk membangun kembali masjid ini. Saat itu merupakan masa pemerintahan Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah I atau yang lebih dikenal dengan Raja Buyung Ibnu Sultan Husain Syah atau Tuanku David (1830-1838).
Lathifah (80) merupakan anak dari Abdul Lathif, seorang tukang kayu yang menjadi perancang pembangunan masjid pasca kebakaran. Lathifah menyebutkan bahwa ayahnya kemudian menjadi imam di Masjid Tuha Bung Sidom ini.
“Masjid ini sudah ada bahkan sejak orang tua saya masih kecil. Dulu sayah saya juga menjadi imam disini. Lantainya bahkan dari campuran abu dapur dan telur” ujarnya.
Hasil rekontruksi masjid tersebut masih dapat kita saksikan hingga hari ini. Terdapat enam belas tiang untuk menyangga keseluruhan bangunan masjid dengan empat tiang utama dibagian tengah untuk menyangga tiga rumpang atap dibagian tengah. Pasak-pasak penghubungnya terdiri dari kayu yang berwarna kuning keemasan dan memiliki ukiran yang khas.
Literatur mencatat sekitar tahun 1953-1958, terjadi pergolakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang merupakan konflik politik pertama pasca kemerdekaan di Indonesia, bangunan ini kembali direnovasi dengan perluasan bangunan dibagian depan dan juga pergantian atap dari daun rumbia menjadi atap seng.
Fasilitas disekitar masjid tuha ini terbilang sudah cukup lengkap, lantainya juga sudah diubah menjadi lantai keramik. Di sisi kiri masjid juga terdapat balai pertemuan serta kantor Pos Pelayanan Teknologi (Posyantek) dan gedung pertemuan PKK, dan di sisi kanannya terdapat kamar mandi, dapur umum serta kolam.
Meski sudah terdapat masjid baru yang berlokasi tidak begitu jauh dari Masjid Tuha Bung Sidom, masjid ini tetap menjalankan fungsinya untuk menampung masyarakat sekitar dalam melaksanakan shalat tarawih di bulan Ramadhan.
Selain itu, khusus di bulan Ramadhan setelah pelaksanaan shalat dzuhur terlihat asap dari kayu bakar mulai mengepul dari bangunan yang berada di sudut dekat kolam. Di dalam sebuah belanga besar, terdapat berbagai campuran rempah dan beras yang dimasukkan satu persatu oleh seorang pria bernama Abdul Muthaleb (60). Ia merupakan petugas yang bertanggung jawab untuk menyiapkan salah satu panganan khas Aceh di bulan Ramadhan, yaitu Ie Bu Peudah.
Dibantu oleh M. Husein (53) yang bertugas menjaga api, mereka dengan telaten memasak Ie Bu Peudah. Setiap harinya selama bulan ramadhan, mereka menyiapkan 100-120 porsi untuk dibagikan kepada masyarakat sekitar.
“Sore nanti warga datang kesini bawa wadah sendiri. Ini dibagi untuk siapa saja yang datang, termasuk warga kampung sebelah” ujar Abdul Muthaleb.
Saat ini, Mesjid Tuha Bung Sidom sudah dicatat sebagai Situs Cagar Budaya dibawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah-1 Provinsi Aceh.
Editor: Amiruddin. MKReporter: Hulwa Dzakira