Jakarta – Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi mengenai aturan aparat kepolisian dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri yang termuat dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri), Kamis.
“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 84/PUU-XXIII/2025 di Ruang Sidang Pleno MK RI, 3 Juli 2025.
Perkara tersebut dimohonkan oleh advokat Syamsul Jahidin dan Piriada Patrisia Siboro serta ibu rumah tangga bernama Ernawati. Mereka mempersoalkan frasa “kepentingan umum” dan “menurut penilaiannya sendiri” dalam Pasal 18 ayat (1) UU Polri.
Adapun pasal tersebut selengkapnya berbunyi “Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.”
Menurut para pemohon, tidak ada definisi eksplisit dalam UU Polri mengenai maksud dari “kepentingan umum” sehingga dikhawatirkan dapat diinterpretasikan secara subjektif oleh aparat kepolisian di lapangan.
Di sisi lain, para pemohon menilai frasa “menurut penilaian penilaiannya sendiri” mengandung beberapa permasalahan, yakni rawan penilaian secara subjektif, multitafsir, dan tidak adanya kontrol sehingga berpotensi mengakibatkan ketidakpastian hukum dan perlakuan yang tidak adil.
Terhadap dalil tersebut, MK menjelaskan bahwa ketentuan norma Pasal 18 ayat (1) UU Polri tidak dapat dipisahkan dari kewenangan kepolisian secara menyeluruh dalam menjalankan tugas memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam menjalankan tugas, aparat kepolisian acapkali dihadapkan pada peristiwa yang sangat kompleks. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi kompleksitas peristiwa tersebut, dibentuklah frasa “kepentingan umum” dan “penilaiannya sendiri”.
Menurut MK, pilihan untuk alasan “kepentingan umum” dan dapat bertindak atas “penilaiannya sendiri” merupakan sebuah diskresi aparat kepolisian dalam bertugas. Diskresi tersebut melandasi penggunaan wewenang kepolisian ketika menghadapi pencegahan suatu tindak pidana yang akan atau mungkin terjadi.
Frasa “penilaiannya sendiri” sejatinya telah dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 18 ayat (1) UU Polri. Begitu pula dengan frasa “kepentingan umum” yang telah dijelaskan dalam Ketentuan Umum angka 7 UU Polri.
Di sisi lain, Pasal 18 ayat (2) turut memberikan rambu-rambu mengenai pelaksanaan Pasal 18 ayat (1), yakni tindakan dengan alasan “kepentingan umum” dan berdasarkan “penilaiannya sendiri” hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu, dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta kode etik profesi Polri.
Lebih lanjut terkait dengan diskresi, MK menjelaskan bahwa batasan atau ukuran dalam menerapkan diskresi secara tersirat dijelaskan dalam Pasal 16 ayat (2) UU Polri yang terdiri atas lima persyaratan.
Persyaratan dimaksud, yaitu tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; serta menghormati hak asasi manusia.
“Menurut Mahkamah, frasa ‘kepentingan umum’ dan frasa ‘penilaiannya sendiri’ dalam Pasal 18 ayat (1) UU 2/2002 masih diperlukan oleh aparat kepolisian sebagai tindakan diskresi yang dibutuhkan dalam rangka melaksanakan dan memberikan perlindungan, pengayoman, serta pelayanan kepada masyarakat, serta penegakan hukum,” kata Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah membacakan pertimbangan hukum.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, MK menilai dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Dalam sidang pengucapan putusan pada hari Kamis ini, MK juga tidak menerima dua perkara pengujian UU Polri lainnya. Dua perkara tersebut adalah Nomor 76/PUU-XXIII/2025 dan 78/PUU-XXIII/2025.
Pada perkara nomor 76, Syamsul Jahidin mempersoalkan Pasal 16 ayat (1) huruf l dan ayat (2) huruf c UU Polri karena dinilai berpotensi menimbulkan kriminalisasi. Namun, menurut MK, pemohon tidak dapat menjelaskan secara spesifik kerugian hak konstitusionalnya sehingga tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan.
Sementara itu, pada perkara nomor 78, Syamsul Jahidin dan Ernawati menguji Pasal 11 ayat (2) dan penjelasannya yang mengatur tentang pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. Akan tetapi, selain karena tidak mampu menjelaskan kerugian hak konstitusionalnya, MK juga menilai permohonan tidak jelas atau kabur (obscuur).
Editor: Amiruddin. MK