Jakarta – Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) memiliki dampak multidimensi yang signifikan, mencakup aspek kesehatan masyarakat, perekonomian nasional, dan hubungan diplomatik antar negara. Karenanya Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Jenderal Polisi (Purn.) Budi Gunawan, menekankan urgensi implementasi sistem satu komando yang terpadu, disertai koordinasi lintas sektor guna meningkatkan efektivitas penanganan Karhutla, Rabu (7/5).
Demikian disampaikan Ketua I Satgas Koordinasi Penegakan Hukum Desk Karhutla, Irjen. Pol. Asep Edi Suheri, pada Rapat Koordinasi Satgas Koordinasi Penegakan Hukum Desk Karhutla di Kantor Bareskrim, Mabes Polri.
Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Polri tersebut juga menyampaikan berdasarkan hasil penindakan hukum terhadap pelaku Karhutla menunjukkan bahwa mayoritas pelaku merupakan individu perseorangan. Sebaliknya, pelaku dari kalangan korporasi masih relatif jarang tersentuh proses hukum.
Ia menyampaikan modus yang sering dilakukan korporasi dengan memanfaatkan pihak ketiga menyulitkan proses pembuktian dalam ranah hukum.
“Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan hukum yang menyeluruh dan kolaboratif guna menjerat korporasi yang terlibat dalam praktik Karhutla,” ungkapnya.
Menurutnya, batas waktu penahanan selama 60 hari sering kali tidak mencukupi untuk menyelesaikan proses hukum karena penyidikan membutuhkan waktu lama, termasuk untuk pelaksanaan forensik serta audit terhadap perizinan lahan.
“Ketiadaan sistem koordinasi yang terintegrasi antarlembaga penegak hukum berkontribusi terhadap lambannya penanganan, termasuk terjadinya pengembalian berkas (P19) dan terbitnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3),” kata Asep.
Sementara itu Ketua II Satgas Koordinasi Hukum, Asep Nana Mulyana, menyampaikan pendekatan penegakan hukum berbasis Multi-doors (pendekatan lintas instrumen hukum) harus ditempuh melalui koordinasi antarsektor yang memiliki dasar legalitas kuat agar dapat menimbulkan efek jera.
Dalam konteks pemulihan lingkungan hidup, pidana tambahan berupa kewajiban pemulihan ekosistem perlu diintegrasikan dalam proses hukum yang menuntut kerja sama lintas instansi.
“Penegakan hukum juga harus mempertimbangkan aspek kearifan lokal dengan tetap mengedepankan pendekatan yang rasional dan pragmatis, sehingga tidak menimbulkan resistensi sosial,” kata Asep yang juga merupakan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum.
Dikutip dari RRI.co.id, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Meteorologi Kelas I Sultan Iskandar Muda (SIM) Banda Aceh mendeteksi dua titik panas (hotspot) di wilayah Provinsi Aceh sejak 7 Mei 2025.
Koordinator Data dan Informasi BMKG Stasiun SIM Banda Aceh, Anang Arianto, dalam laporan yang diterima RRI pada Kamis (8/5/2025) menyampaikan berdasarkan hasil pantauan dari sensor satelit MODIS (Terra, Aqua, dan Suomi NPP) serta NOAA20/VIIRS, titik panas terdeteksi di dua kabupaten, yakni di Aceh Jaya Kecamatan Panga dan Aceh Singkil Kecamatan Simpang Kanan.
Anang menjelaskan bahwa kedua titik panas tersebut memiliki tingkat kepercayaan rendah, yang mengindikasikan potensi kebakaran lahan atau hutan belum signifikan, namun tetap perlu menjadi perhatian.
“Titik panas dengan kepercayaan rendah bisa disebabkan oleh berbagai faktor, seperti aktivitas manusia atau kondisi cuaca panas dan kering. Meski belum tergolong berbahaya, ini tetap harus dipantau untuk mencegah potensi kebakaran hutan dan lahan,” jelas Anang.
BMKG mengimbau masyarakat dan pihak terkait untuk tetap waspada terhadap kemungkinan meningkatnya suhu dan kekeringan di sejumlah wilayah, terutama memasuki musim kemarau.
Koordinasi lintas sektor, termasuk pemerintah daerah dan masyarakat, sangat dibutuhkan untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan yang bisa berdampak pada kualitas udara serta kesehatan.
Editor: Amiruddin. MK