Jakarta – Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Republik Indonesia mencatat 157 Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri terancam hukuman mati. Dari jumlah tersebut, 147 kasus berada di Malaysia, dan sisanya tersebar di sejumlah negara lain.
Hal itu diungkapkan Direktur Pelindungan WNI Kemlu, Judha Nugraha, dalam forum Migrasi Efektif bersama para Diaspora Indonesia di Ibu Kota Nusantara. Ia menyebut, pada tahun 2024, Kemlu menangani lebih dari 67.000 kasus perlindungan WNI, dengan tingkat penyelesaian mencapai 85 persen.
“Angka penyelesaian kasus kami memang tinggi. Tapi realitanya, kasus-kasus baru terus bermunculan. Ini artinya pendekatan pemadam kebakaran tidak cukup. Kita harus mulai menangani persoalan dari hulu,” kata Judha, dikutip Rabu (6/8/2025).
Data terbaru Kemlu mengungkap, dari 157 kasus itu, 111 di antaranya terkait dengan narkotika, sementara 46 lainnya karena kasus pembunuhan. Jumlah ini meningkat signifikan dibanding tahun 2023, yang tercatat hanya 25 kasus baru.
Meski begitu, pemerintah Indonesia berhasil menunjukkan upaya nyata dalam perlindungan WNI. Hingga awal 2025, Kemlu berhasil menyelamatkan 137 WNI dari ancaman hukuman mati. Prestasi ini diapresiasi, namun tetap menjadi pengingat bahwa ancaman bagi WNI di luar negeri masih tinggi dan memerlukan perhatian bersama.
Menurutnya salah satu sumber utama masalah adalah migrasi nonprosedural. WNI yang berangkat tanpa dokumen resmi sering kali direkrut oleh calo dengan janji pekerjaan palsu.
Banyak yang akhirnya kabur dari tempat kerja karena merasa tertipu, meski tidak bermasalah dengan majikan. Tindakan itu justru menjadikan mereka pelanggar imigrasi dan menyulitkan proses bantuan hukum maupun perlindungan.
Tantangan lainnya datang dari peningkatan kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang dikaitkan dengan online scam dan judi daring. Sejak 2020, tercatat 7.600 WNI menjadi korban penipuan daring, dan 1.500 di antaranya teridentifikasi sebagai korban TPPO. Mirisnya, sebagian WNI justru memilih bertahan di pekerjaan ilegal karena tergiur gaji besar hingga Rp150 juta per bulan.
“Ketika kami evakuasi 599 WNI dari Myanmar, masih banyak yang menolak pulang. Mereka tahu itu ilegal, tapi penghasilan mereka jauh lebih tinggi dari pekerjaan legal. Ini bukan hanya soal hukum, tapi juga soal pilihan hidup dalam tekanan ekonomi,” ucap Judha.
Untuk mencegah kasus serupa, Kemenlu kini memberi insentif bagi WNI yang melapor diri ke perwakilan RI di luar negeri. Salah satunya berupa pembebasan bea masuk barang impor hingga 15.000 dolar AS per tahun bagi pekerja migran Indonesia (PMI) yang tercatat resmi. Sejak kebijakan ini diluncurkan awal 2025, angka pelaporan meningkat signifikan.
Judha mengajak seluruh pemangku kepentingan, mulai dari jaringan buruh migran, diaspora Indonesia dan kedutaan Indonesia di luar negeri untuk menjadi bagian dari sistem perlindungan WNI. Menurutnya, keluarga, komunitas, dan teman sebangsa di luar negeri adalah garis pertahanan pertama.
“Jangan biarkan WNI bermasalah sendirian. Perlindungan warga negara itu tugas bersama, bukan hanya pemerintah,” ujarnya tegas.
Editor: Amiruddin. MK