Di balik antrean panjang di sejumlah SPBU di Kabupaten Pidie, Aceh, solar bersubsidi seolah memiliki jalan sunyi menuju tempat-tempat yang tak pernah tercatat. Di sanalah, dugaan praktik kongkalikong antara mafia BBM dan aparat yang seharusnya mengawasi, mulai tercium.
Sigli — Pagi belum sepenuhnya terik ketika deretan kendaraan sudah mengular di sebuah SPBU di Kabupaten Pidie. Truk kecil, mobil pikap, hingga kendaraan penumpang tampak sabar menunggu giliran. Namun, tak semua antrean itu benar-benar mencerminkan kebutuhan masyarakat.
Hasil penelusuran di lapangan menunjukkan, solar bersubsidi di daerah ini diduga lama menjadi “lahan basah” bagi para pemain lama. Dengan kendaraan yang telah dimodifikasi, tangki tambahan tersembunyi, hingga pemanfaatan banyak barcode kendaraan secara bergantian, praktik pengisian berulang berlangsung nyaris tanpa hambatan.
Solar yang seharusnya ditebus sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp 6.800 per liter, justru dibayar lebih mahal oleh para penadah. Harga di kisaran Rp 8.500 hingga Rp 9.000 per liter bukan hal asing. Selisih itulah yang oleh sejumlah sumber diduga menjadi ongkos kompromi—agar mata pengawas memilih tak melihat, dan laporan tak pernah dibuat.
“Kalau tidak ada yang membiarkan, mustahil bisa berlangsung seterang ini,” ujar seorang warga yang kerap menyaksikan aktivitas tersebut, namun meminta namanya dirahasiakan.
Jerigen dan Dalih Nelayan
Modus lain yang kerap digunakan adalah membawa solar dalam jerigen, dengan alasan untuk kebutuhan nelayan kecil. Dalih ini acap kali lolos dari pemeriksaan.
Namun, jumlahnya kerap tak masuk akal. Dalam satu kali angkut, volume solar bisa mencapai ratusan liter, bahkan mendekati satu ton. Skala itu jauh melampaui kebutuhan nelayan tradisional yang melaut harian.
“Mereka datang berkali-kali. Kalau dihitung, itu bukan lagi untuk melaut, tapi untuk disimpan,” kata seorang sumber lain yang mengetahui alur distribusi solar tersebut.
Solar-solar itu kemudian diduga dibawa ke gudang penimbunan sebelum dijual kembali ke sektor industri atau usaha besar dengan harga jauh lebih tinggi.
Hukum yang Terasa Lumpuh
Yang paling terasa dari dugaan praktik ini adalah dampaknya bagi masyarakat kecil. Sopir truk logistik, angkutan umum, hingga nelayan yang benar-benar berhak, harus berhadapan dengan kelangkaan.
Antrean panjang menjadi pemandangan sehari-hari. Tak jarang, sopir pulang dengan tangan kosong karena kuota SPBU telah habis lebih dulu.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa aktivitas yang berlangsung berulang dan terbuka ini nyaris tak pernah berujung penindakan?
Sejumlah pihak menduga adanya pembiaran, bahkan kemungkinan keterlibatan oknum aparat penegak hukum dalam mata rantai distribusi ilegal tersebut. Dugaan ini kian menguat seiring minimnya operasi penertiban, meski laporan dan keluhan masyarakat terus bermunculan.
Menanti Klarifikasi
Hingga laporan ini ditulis, redaksi masih berupaya memperoleh klarifikasi dari kepolisian resor setempat dan instansi terkait mengenai pengawasan distribusi solar bersubsidi di Kabupaten Pidie.
Solar subsidi sejatinya adalah penyangga ekonomi rakyat kecil. Ketika ia justru mengalir ke gudang-gudang gelap, kepercayaan publik terhadap sistem pengawasan dan penegakan hukum pun ikut terkikis.
Pertanyaannya kini, sampai kapan praktik ini dibiarkan mengalir tanpa hambatan?
Editor: Amiruddin. MKReporter: Amir Sagita










