Opini Oleh: Munawar Khalil Kalee, Laweung, Pidie
“Ada sebuah buku tua yang lahir dari ruang sempit penjara, ditulis dengan amarah, dendam, dan rasa percaya diri yang keliru. Buku itu berjudul Mein Kampf, karya Adolf Hitler. Di dalamnya, Hitler menumpahkan rasa sakit dan kebenciannya kepada dunia—dan dari sana, lahir ideologi paling mematikan abad ke-20.
Membaca Mein Kampf hari ini bukan sekadar membuka lembaran sejarah kelam Jerman. Buku itu menjadi cermin tentang bagaimana luka yang tidak diolah dengan kebijaksanaan bisa berubah menjadi bencana. Dari sanalah Aceh bisa belajar.
Aceh adalah tanah dengan sejarah panjang perjuangan dan penderitaan. Dari perlawanan terhadap Belanda hingga konflik bersenjata modern, luka itu nyata dan dalam. Namun, yang lebih penting dari luka itu sendiri adalah bagaimana kita memperlakukannya. Apakah dijadikan bahan bakar dendam, atau sumber kebijaksanaan?
Hitler menulis Mein Kampf setelah gagal melakukan kudeta di Munich pada 1923. Dalam amarahnya, ia menyalahkan kaum Yahudi, Marxis, dan siapa pun yang dianggap melemahkan Jerman. Ide-idenya kemudian menjadi dasar genosida dan perang dunia. Buku itu membuktikan satu hal: penderitaan yang tidak disembuhkan dengan nurani bisa melahirkan ideologi yang menindas.
Aceh juga pernah memiliki luka yang hampir serupa. Setelah perjuangan panjang melawan penjajah, konflik justru muncul di antara sesama anak bangsa. Ketika semangat perjuangan berubah menjadi perebutan kekuasaan, makna perjuangan itu pun memudar. Kita bisa belajar dari sejarah: ide yang lahir dari rasa sakit sering tampak benar di awal, tetapi jika dibungkus kebencian, ia akan menjadi bumerang bagi bangsanya sendiri.
Perjanjian damai Helsinki tahun 2005 seharusnya menjadi titik balik bagi Aceh. Namun, dua dekade kemudian, kita masih sering mendengar narasi tentang siapa yang paling berjasa, siapa yang paling menderita, dan siapa yang paling pantas berbicara atas nama rakyat. Luka lama terus dipelihara, sementara luka baru muncul dalam bentuk kemiskinan, ketidakadilan, dan perebutan jabatan.
Di sinilah bahaya yang sama mengintai: ketika masa lalu dijadikan alat untuk menjustifikasi kekuasaan. Sejarah Mein Kampf mengingatkan bahwa kekuasaan tanpa nurani hanya akan membawa kehancuran. Hitler percaya hanya pemimpin kuat yang bisa menyelamatkan bangsanya, tapi ia lupa bahwa kekuatan tanpa kemanusiaan akan menghancurkan segalanya.
Kini, rakyat Aceh tidak lagi mendambakan pemimpin yang berteriak tentang masa lalu, melainkan pemimpin yang menumbuhkan harapan masa depan. Damai yang telah diperoleh harusnya menjadi perjuangan terakhir—perjuangan untuk menata, bukan menggugat; untuk merangkul, bukan menuding.
Sejarah mengajarkan bahwa luka yang dibiarkan akan melahirkan kekuasaan yang kejam. Tapi sejarah juga memberi harapan: luka yang diolah dengan kebijaksanaan bisa melahirkan peradaban yang luhur.
Aceh kini berada di persimpangan—antara mengulang luka, atau menulis bab baru tentang kebangkitan yang lahir dari cinta, akal sehat, dan kemanusiaan.
Editor: Amiruddin. MK










