Penulis : Kas Pani
Murad terkapar, nafasnya satu-satu, sesak, seakan mau berhenti seusai membaca sobekan secarik kertas buku pelajaran milik anaknya yang tercecer di lantai rumah.
“Dan Dia bersama kamu dimana saja kamu berada. Demi Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan,” isi tulisan itu.
Murad tercenung, tersentuh hatinya dan sangat menyesal seperti Umar bin Khatab mendengar surat Thaha.
Dua tahun sejak dipercaya sebagai kepala dinas di kotanya, seolah-olah Allah tidak lagi hadir di hati Murad, pada hal dasar ia diangkat jadi pejabat, karena kejujuran dan kekalemannya. Ia terkenal sangat zuhud, apalagi dengan harta dan jabatan.
Kariernya pun dari tangga paling bawah, staf biasa. Ternyata uang dan jabatan bisa membuat orang dari kalem menjadi kalam, gelap.
“Banyak celah yang bisa dimanfaatkan,” bisik hatinya setelah mempelajari mata anggaran kantor.
“Markup, penggelembungan harga, dan fee proyek peluang yang bisa dimanfaatkan.”
Meraihnya, Murad telah mengultimatum praktik ini ke bawahannya untuk dilaksanakan. Religius kok melakukan korupsi.
Kalem bisa jadi kalam. Hati ini dirasakan Murad. Tuhan tidak lagi hadir saat sunyi maupun ramai. Tuhan tidak ada, buktinya, Murad tidak merasakanNya.
Di kantor, ia libas semua. Tidak hanya ikan besar sejenis paus, ikan kecil semacam teri ia lahap.
Murad seperti serigala yang memangsa. Tuhan telah mati, bisiknya.
“Apa kalimat ini,” Murad seperti ngigau dan orang kerasukan setelah membaca tulisan di kertas itu. Tubuhnya gemetar bukan kedinginan, sempoyongan bukan kelelahan, tapi ada sebuah rasa membuatnya takut ketika mengeja kalimat,” Allah, melihat apa yang kamu kerjakan. “
Murad merebahkan tubuhnya ke keramik tanpa alas seperti gaya berenang, menggapai-gapai, sampai ia menyesal, dan sangat menyesal dengan perilaku buruk selama ini.
Perlahan Murad sadar, “Astaghfirullah,” ucapnya lirih sambil menuju kamar mandi untuk berwudhuk. Ia kembali ingin merasakan kehadiran Tuhan.
Editor: Amiruddin. MK