Home / Opini

Senin, 1 Desember 2025 - 09:21 WIB

Bisnis Empuk di Balik Bencana Kemanusiaan: Ironi Negeri yang Kehilangan Empati

mm Redaksi

Sherly Maidelina, Aktivis Perempuan dan Kemanusiaan. Foto: Dok. Istimewa

Sherly Maidelina, Aktivis Perempuan dan Kemanusiaan. Foto: Dok. Istimewa

Owner Starlink Menggratiskan, Namun Konsumen Tetap Berbayar. Ketika Semua Kebutuhan Pokok Menjadi Aji Mumpung di Negeri Bertuhan.

Banda Aceh – Banjir dan longsor yang melanda Sumatera kembali membuka luka lama bagi Aceh. Ingatan pada gelombang tsunami muncul kembali, namun kali ini lebih getir. Jika tsunami dulu tak memutus akses transportasi, bencana kali ini justru meluluhlantakkan badan jalan dan jembatan. Sejumlah wilayah terisolir, sementara air mata warga seakan tak pernah kering menyaksikan rumah hanyut, lahan rusak, dan evakuasi yang berjalan tersendat.

Dalam kondisi listrik padam total dan jaringan komunikasi lumpuh, kecemasan keluarga yang berada di luar wilayah bencana semakin menjadi-jadi. Ada yang berhari-hari tak tahu kondisi neneknya, ibunya, anak kandungnya. Ada pula yang kehilangan anggota keluarga bukan karena terseret banjir, tapi karena kelaparan akibat terkurung berhari-hari.

Sebagian warga yang masih punya akses internet membagikan video dan foto tanpa henti. Di satu sisi melaporkan kondisi sesungguhnya, namun di sisi lain memicu kepanikan karena seolah air tak kunjung surut. Bersamaan dengan itu, ribuan kayu gelondongan yang terbawa arus menjadi bukti telanjang tentang kerakusan yang lama dibiarkan. Pemerintah dihujat, pejabat dicaci. Tapi di tengah kritik itu, kita lupa bahwa rakyat pun banyak yang ikut-ikutan tamak.

Baca Juga :  Kasus Eksploitasi WNI di Kamboja, Negara Harus Hadir Bukan Sekadar Bereaksi

Di tengah bencana, terdengar kabar menyejukkan: Elon Musk, pemilik Starlink, menyatakan tak akan mengambil keuntungan di wilayah bencana hingga Desember 2025. Namun apa daya, niat baik itu tak turun ke bumi. Sebagian pebisnis memanfaatkan momen ini sebagai ladang uang baru. Starlink yang sejatinya digratiskan, justru dijadikan sumber pendapatan dadakan oleh oknum yang menarik tarif per jam di warkop atau titik-titik tertentu.

Belum lagi jasa tarik uang tunai. Karena ATM mati, warga terpaksa menarik uang melalui agen. Tarifnya? Sepuluh persen per transaksi. Menarik Rp500 ribu berarti membayar Rp50 ribu. Berbisnis di atas penderitaan—riba atau bukan, biarlah ahli yang menilai—tapi rasa kemanusiaan jelas menipis.

Baca Juga :  Revitalisasi Baitul Mal di Aceh

Sembako pun melonjak tak tanggung-tanggung. Cabai yang sebelumnya Rp2 ribu segenggam tiba-tiba menjadi Rp20 ribu. BBM eceran dari Rp10 ribu naik menjadi Rp30 ribu. Alasan yang digunakan selalu sama: “langka”. Padahal yang langka bukan barangnya, melainkan empatinya.

Di saat masyarakat berjuang menyambung hidup, inisiatif lokal justru minim. Banyak orang kaya, banyak politisi, tetapi karena bukan musim kampanye, kepedulian ikut padam. Andaikan bencana ini terjadi menjelang pemilu, mungkin malam itu juga dapur umum berdiri di tiap simpang. Kini, setelah lima hari warga kelaparan dan kedinginan, permintaan “kita butuh dapur umum” hanya menjadi wacana yang berputar dari desa, ke kota, ke provinsi, hingga ke pusat. Baru hari keenam bantuan yang layak mulai terlihat.

Baca Juga :  Melodi Lahan Seluas 276 hektare

Sementara itu, cerita tentang warga yang mati kelaparan dan kedinginan mengoyak hati. Negeri yang selama ini mengaku religius ternyata dapat berubah begitu cepat ketika keuntungan ada di depan mata. Toko dijarah? Rakyat yang disalahkan. Namun ketika keadaan aman, bantuan dari si kaya tipis sekali. Bagi sebagian mereka, urusan rakyat adalah urusan pemerintah.

Padahal Indonesia adalah negeri bertuhan, mayoritas Muslim. Rasulullah mengajarkan bahwa orang beriman itu seperti satu tubuh—ketika satu bagian sakit, yang lain ikut merasakannya. Tapi mengapa kini kita seperti tubuh yang tak lagi saling peduli?

Musim kemarau akan datang, air surut, jenazah dikubur, luka perlahan hilang. Kayu-kayu gelondongan akan dibersihkan, laporan bencana akan ditutup. Namun pertanyaannya: adakah yang berubah? Ataukah kita hanya menunggu reuni bencana di akhir tahun mendatang?

Editor: Amiruddin. MK

Share :

Baca Juga

Opini

Hasil Pilkada: Antara Harapan Baru dan Tantangan Lama

Internasional

Repatriasi menjadi faktor kunci untuk menyelesaikan krisis Rohingya

Opini

Dana Khusus Tanpa Kekuatan Regulatif Tak Bermakna

Opini

Bagaimana Cara Memperoleh Ilmu Pengetahuan?

Opini

Inovasi dan Produktivitas sebagai Pilar Kemajuan Aceh

Opini

Akibat Disidang Senior, Siswa Kelas Dua SMU Unggul Pijay Trauma

Daerah

Onan Rimo Dan Rakit Handel

Opini

Semangat Nasionalisme Kebangsaan 80 Tahun Indonesia Merdeka