Banda Aceh – Banjir dan longsor yang terjadi di berbagai wilayah Sumatra mulai dari Medan, Aceh, Padang, hingga daerah sekitarnya selalu kita sebut sebagai musibah. Kata itu sering membuat kita merasa seolah semuanya terjadi tanpa sebab, seolah alam sedang murka tiba-tiba. Padahal kalau kita jujur, sebagian besar dari bencana ini adalah akibat dari pilihan dan tindakan kita sendiri selama bertahun-tahun, Banda Aceh (02/12/2025).
Lihat saja bagaimana tambang-tambang ilegal dibiarkan tumbuh tanpa kendali. Gunung-gunung yang dulu kokoh kini terkikis sedikit demi sedikit. Tanahnya tidak lagi stabil, bebatuannya tak lagi kuat menahan hujan deras. Belum lagi pembakaran hutan yang tanpa rasa bersalah dilakukan demi membuka lahan dalam waktu cepat. Asapnya menyelimuti langit, namun luka di tanah jauh lebih dalam daripada yang terlihat mata.
Kita juga masih tidak belajar tentang kebiasaan membuang sampah sembarangan. Sungai-sungai yang dulu jernih berubah menjadi tempat kumpulan plastik dan limbah rumah tangga. Saat hujan turun deras, air tak punya jalan keluar selain meluap ke permukiman. Lalu kita bingung, kita mengeluh, padahal kita sendiri yang menutup alirannya.
Industrialisasi yang rakus lahan pun memberi dampak besar. Ketika hutan ditebang habis dan diganti dengan barisan pohon sawit yang seragam dan berakar dangkal, kemampuan alam untuk menyerap air berkurang drastis. Pohon sawit bukan pengganti yang setara dengan pohon-pohon tua yang akarnya menjangkau dalam. Maka wajar saja banjir semakin mudah datang, tanah semakin mudah longsor.
Saat hujan besar seperti beberapa waktu ini, air turun tanpa hambatan. Tidak ada lagi akar pohon besar yang mampu menahan derasnya. Tanah yang gundul dan rapuh mudah tergerus dan jatuh menimpa rumah warga yang tinggal di bawahnya. Lalu kejadian-kejadian memilukan itu kita anggap sebagai hukuman alam. Padahal alam hanya memberikan balasan dari apa yang kita tinggalkan rusak.
Hal yang paling menyedihkan adalah bahwa bencana seperti ini sebenarnya bisa dicegah. Kita sudah punya banyak peringatan, banyak contoh, banyak pengalaman pahit. Namun sering kali kita baru tersentak ketika rumah sudah hanyut, ketika keluarga sudah menjadi korban, ketika jalan-jalan sudah lumpuh oleh lumpur dan air. Mengapa kita selalu terlambat belajar?
Sudah saatnya kita berhenti menyalahkan hujan, badai, atau takdir. Yang harus kita ubah adalah cara kita memperlakukan alam. Setiap kali kita membuka lahan tanpa aturan, membakar hutan demi keuntungan cepat, atau membuang sampah dengan mudahnya, kita sedang menabung bencana yang akan datang di kemudian hari.
Tuhan telah memberi kita alam yang begitu kaya, hutan yang lebat, tanah yang subur, sungai yang mengalir bersih. Semua itu diberikan bukan untuk dieksploitasi tanpa batas, melainkan untuk dijaga dan dirawat. Dan jika kita lalai, maka wajar saja jika nikmat itu perlahan diambil kembali.
Semoga kejadian ini membuka mata kita. Semoga kita mulai bertindak bukan hanya ketika bencana sudah terjadi, tetapi sebelum alam kehilangan kesabaran. Karena kalau bukan kita yang menjaga bumi ini, siapa lagi?
Editor: Amiruddin. MKReporter: Aininadhirah










