Banda Aceh – Eks tentara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dari kalangan perempuan atau dikenal dengan Pasukan Inong Balee yang saat ini tergabung dalam Yayasan Askarimah Aceh turut angkat bicara terkait keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang menyerahkan empat pulau milik Aceh menjadi milik Provinsi Sumatera Utara.
Para perwakilan Askarimah Aceh dari berbagai wilayah pun mengecam keras tindakan sewenang-wenang Pemerintah Pusat terhadap Aceh yang dianggap tidak pernah berubah dan selalu memandang rendah orang Aceh meskipun telah dua dekade menjalani masa damai pasca penandatanganan perjanjian damai yang dikenal dengan MoU Helsinki.
“Kami dari pasukan Inong Balee yang hari ini tergabung dalam Yayasan Askarimah Aceh bukan tidak peduli dengan kondisi Aceh, kami hanya melihat dan memantau perkembangan bagaimana pemerintah pusat memperlakukan kita, apakah janji damai itu masih berlaku atau memang ada rencana berkhianat lagi seperti kasus ikrar Lamteh,” kata Azizah, Ketua Askarimah wilayah Pidie, Senin 16 Juni 2025.
Kecamatan juga disampaikan Fitriani, Ketua Askarimah wilayah Bireuen. Ia menganggap keputusan dari Mendagri Tito Karnavian menjadi pengingat bahwa benih-benih pengkhianatan terhadap janji damai itu tetap ada walaupun GAM telah memilih menurunkan senjata dan berdamai dengan Pemerintah Republik Indonesia.
“Seharusnya presiden Indonesia Prabowo Subianto langsung mencopot menteri yang memancing benih-benih konflik dan mengancam perdamaian seperti ini. Kalau presiden tidak berani mencopot menteri yang suka bikin gaduh, jangan-jangan sengaja untuk merusak perdamaian yang sudah 20 tahun berjalan,” ujarnya.
Sementara perwakilan Askarimah dari wilayah Pidie Jaya, Isna Juwita, menyatakan dengan tegas bahwa para Askarimah Aceh walaupun telah dianggap tidak lagi melakukan perlawanan bersenjata seperti dulu, semangat mereka untuk berperang membela tanah Aceh tidak pernah padam.
“Jika konflik kembali meletus, kami selalu siap berperang membela Aceh sampai kami mati atau tanah kita yang merdeka. Kami selalu dan masih siap perang untuk mempertahankan harga diri Aceh sampai kapan pun,” teganya.
Menurutnya, dari masa penjajahan Belanda, rakyat Aceh tidak pernah merasa lelah berperang demi memperjuangkan keadilan dan harga diri. “Bagi rakyat Aceh harga diri lebih besar daripada hidup itu sendiri, maka jangan heran kenapa orang Aceh tidak pernah berhenti berperang ratusan tahun ketika harga dirinya diinjak-injak,” jelasnya.
Hal senada juga disampaikan Siti Hajar, Ketua Askarimah wilayah Simeulue. Menurutnya, harga damai itu mahal, tapi harga diri orang Aceh lebih penting.
“Untuk apa berdamai kalau kita tidak bisa hidup dengan keinginan dan harga diri kita yang terus diinjak-injak. Dari dulu kita ingin merdeka, tapi sampai saat ini kita masih mau hidup bersama. Kalau keadilan tidak ada nilainya, harga diri kita tidak dianggap, jangan salahkan generasi Aceh kembali memberontak,” katanya.
Ia menegaskan, ketika yang diam mulai angkat bicara, artinya ada sesuatu yang salah dan tidak baik-baik saja. “Kita mau tetap damai, tapi pemerintah pusat harus menghargai perdamaian ini, karena damai bukan hanya milik satu pihak, damai ini milik kita bersama,” pungkasnya.
Editor: Amiruddin. MK