Aceh Barat Daya – Keputusan mengejutkan datang dari Cabang Olahraga (Cabor) Anggar Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya).
Tim yang dikenal sebagai salah satu penyumbang medali emas bagi Aceh di ajang PON XXI Aceh–Sumut 2024 itu resmi mundur dari ajang Pra Pekan Olahraga Aceh (Pra PORA) IV tahun 2025, yang dijadwalkan berlangsung di Banda Aceh.
Langkah mundur tersebut diumumkan langsung oleh Ketua Cabor Anggar Abdya, Ryan, pada Minggu (9/11/2025).
Ia menyebut keputusan diambil setelah mempertimbangkan secara matang kondisi finansial dan moral tim yang dinilai tidak mendapatkan dukungan memadai dari Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Abdya.
“Anggaran yang kami terima hanya Rp34,5 juta untuk memberangkatkan 26 orang yang terdiri dari 23 atlet, dua pelatih, dan tiga official. Jumlah itu jelas tidak cukup,” ujar Ryan.
Menurutnya, dana tersebut jauh dari kebutuhan riil tim. Ia menilai, minimnya dukungan dana bukan hanya soal nominal, tetapi juga mencerminkan kurangnya keadilan dan transparansi dari KONI Abdya dalam mengelola anggaran untuk cabor-cabor yang akan berlaga di ajang tingkat provinsi tersebut.
Ryan tidak menutupi kekecewaannya terhadap sikap KONI Abdya. Ia menilai, pembagian dana antar cabor tidak proporsional dan tidak berdasarkan prestasi yang telah ditorehkan oleh masing-masing cabang olahraga.
“Kesannya ada pilih kasih. Padahal Anggar adalah cabor nominasi Abdya yang sudah terbukti berprestasi. Di PON XXI Aceh–Sumut 2024 kemarin, kita berhasil menyumbang medali emas,” tegasnya.
Lebih lanjut, Ryan mencontohkan sejumlah cabor lain yang, menurutnya, justru mendapatkan anggaran lebih besar meski belum menunjukkan prestasi di level provinsi maupun nasional.
“Cabor silat mendapat Rp50 juta, PBSI Rp39 juta, bahkan tenis lapangan dan tenis meja yang belum pernah lolos Pra PORA saja diberi Rp25–30 juta. Ini kan tidak masuk akal,” katanya dengan nada kecewa.
Pihaknya menduga ada faktor kedekatan personal dalam pembagian dana KONI Abdya, bukan murni berdasarkan prestasi dan kebutuhan teknis.
Ia pun menyerukan agar ke depan KONI lebih terbuka dan objektif dalam menetapkan alokasi anggaran.
“Kami ingin olahraga Abdya maju, tapi tidak bisa dengan sistem yang berat sebelah seperti ini,” ujar Ryan.
Menurut Ryan, keputusan mundur diambil bukan karena menyerah, tetapi demi menjaga kekompakan dan martabat tim anggar Abdya.
Ia berujar, jika memaksakan keberangkatan dengan anggaran tidak layak justru berpotensi menimbulkan gesekan internal antara atlet, pelatih, dan pengurus.
“Kalau dipaksakan berangkat, bisa timbul masalah di lapangan. Biaya makan, transportasi, dan perlengkapan tidak akan cukup. Kami khawatir atlet malah terbebani dan kehilangan semangat,” ungkapnya.
Rapat internal yang digelar pengurus dan pelatih akhirnya memutuskan untuk tidak berpartisipasi dalam Pra PORA 2025, meski keputusan itu sangat berat bagi semua pihak.
“Kami ingin tampil dan membawa nama baik Abdya, tapi kami juga tidak mau mempermalukan diri sendiri dengan kondisi yang tidak siap,” tambah Ryan.
Langkah mundur cabor anggar ini langsung mengundang perhatian luas di kalangan olahraga Abdya. Pasalnya, anggar selama ini dikenal sebagai salah satu cabang andalan yang kerap menyumbang medali di berbagai ajang, baik tingkat provinsi maupun nasional.
Fadhli, seorang warga Susoh yang mengaku anggar merupakan cabor kebanggaannya merasa kecewa dengan perlakuan KONI Abdya terhadap atlet berprestasi.
“Kalau prestasi dijadikan ukuran, seharusnya anggar mendapat prioritas. Tapi kalau yang diutamakan justru kedekatan personal, ini bahaya untuk masa depan olahraga Abdya,” ujarnya.
Ia menambahkan, sebagai warga yang mencintai cabor anggar mengawatirkan akan banyak atlet muda yang kehilangan motivasi karena merasa tidak dihargai.
“Bagaimana atlet mau semangat kalau yang berprestasi saja diperlakukan seperti ini? Lama-lama anak-anak akan berhenti berjuang,” katanya dengan nada prihatin.
Menyikapi kondisi ini, sejumlah pemerhati olahraga daerah mulai menyerukan agar KONI Abdya melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pembagian dana pembinaan olahraga.
Fahmi Arif, warga Kecamatan Blangpidie lainnya menilai mundurnya tim anggar harus dijadikan alarm keras bagi manajemen olahraga di Abdya.
“Ini tamparan serius bagi KONI Abdya. Cabor berprestasi seperti anggar seharusnya jadi prioritas. Kalau justru merasa terpinggirkan, berarti ada yang salah dalam sistemnya,” ujarnya.
Fahmi juga menyoroti pentingnya transparansi anggaran KONI, agar tidak menimbulkan kecurigaan publik.
“Masyarakat berhak tahu berapa dana yang diberikan untuk setiap cabor dan apa dasar pembagiannya. Kalau semua terbuka, tak akan ada tudingan pilih kasih seperti sekarang,” tegasnya.
Menurutnya, jika masalah ini tidak segera diselesaikan, bukan tidak mungkin akan muncul gelombang protes serupa dari cabor-cabor lain.
Hingga berita ini diturunkan, pihak KONI Abdya belum memberikan keterangan resmi terkait keputusan mundurnya tim anggar maupun tudingan ketidakadilan dalam pembagian dana.
Upaya konfirmasi yang dilakukan sejumlah media kepada pengurus KONI belum mendapat tanggapan yang memadai.
Sementara itu, sejumlah tokoh olahraga dan masyarakat berharap polemik ini tidak berlarut. Mereka meminta KONI Abdya segera membuka ruang dialog dengan semua pengurus cabor agar permasalahan serupa tidak terulang.
“Pra PORA adalah ajang penting untuk menyeleksi atlet terbaik Abdya menuju PORA 2026. Jangan sampai semangat olahraga daerah rusak hanya karena persoalan anggaran,” ujar Fahmi menutup komentarnya.
Editor: RedaksiReporter: Teuku Nizar
















