Aceh Barat Daya – Seorang peternak ayam broiler di Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), Muhammad Hatta, resmi menggugat Perusahaan Listrik Negara (PLN) ke Pengadilan Negeri (PN) Blangpidie, Rabu (12/11/2025).
Gugatan itu dilayangkan setelah 18.000 ekor ayam miliknya mati akibat pemadaman listrik yang terjadi selama tiga hari berturut-turut di wilayah Aceh pada akhir September lalu.
Kuasa hukum penggugat, Miswar, SH, MH, menyampaikan bahwa langkah hukum ini diambil setelah pihaknya tiga kali melayangkan somasi kepada PT PLN (Persero) namun tak kunjung mendapatkan tanggapan serius.
Miswar menyebutkan, somasi pertama dikirim pada 6 Oktober 2025, disusul somasi kedua pada 13 Oktober 2025, dan yang terakhir pada 20 Oktober 2025.
“Klien kami sudah melakukan somasi terhadap PT PLN di Jakarta sebanyak tiga kali, tapi tidak satu pun direspons dengan baik. Justru baru ada jawaban dari PLN UID Aceh yang hanya berupa permohonan maaf tanpa tanggung jawab konkret,” ungkap Miswar kepada wartawan di Blangpidie, Kamis (13/11/2025).
Menurutnya, pemadaman listrik yang terjadi sejak 29 September 2025 selama tiga hari berturut-turut tanpa pemberitahuan resmi dari PLN telah menimbulkan kerugian besar bagi usaha peternakan ayam broiler yang dijalankan kliennya di Gampong Blang Raja, Kecamatan Babahrot.
“Usaha peternakan ayam modern sangat bergantung pada suplai listrik, terutama untuk sistem ventilasi, penghangat, dan penerangan kandang. Saat listrik padam tanpa kepastian, ribuan ayam tidak mendapatkan sirkulasi udara yang cukup dan akhirnya mati,” jelasnya.
Lebih lanjut, Miswar menjelaskan bahwa kliennya sempat berupaya mengantisipasi gangguan listrik dengan menggunakan genset. Namun, karena ketidakpastian kapan listrik akan kembali menyala, penggunaan genset secara terus-menerus membuat alat tersebut meledak.
“Ketika genset rusak, klien kami berupaya membeli yang baru, tetapi situasi di lapangan sulit karena SPBU juga tidak beroperasi akibat listrik mati. Jadi, pasokan BBM untuk genset pun tidak tersedia. Dampaknya, seluruh 18.000 ayam broiler di kandang mati dalam tiga hari,” ujarnya.
Atas kejadian itu, pihak penggugat menilai PLN telah melakukan kelalaian yang memenuhi unsur perbuatan melawan hukum, sebagaimana diatur dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1229 K/Pdt/2006 serta Putusan Mahkamah Agung No. 2314 K/Pdt/2013.
“PLN sebagai pelaku usaha di bidang ketenagalistrikan seharusnya tunduk pada ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, yang mewajibkan perusahaan memberikan pelayanan yang andal dan berkualitas kepada pelanggan. Dalam kasus ini, PLN lalai menjalankan kewajiban tersebut,” tegas Miswar.
Selain itu, lanjutnya, PLN juga diduga melanggar Pasal 19 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab atas kerugian konsumen akibat jasa yang tidak sesuai dengan standar mutu yang dijanjikan.
“Buruknya pelayanan kelistrikan di Aceh dan tidak adanya pemberitahuan resmi sebelum pemadaman adalah bentuk pelanggaran terhadap hak konsumen. Akibatnya, klien kami menderita kerugian materil dan immaterial dengan total mencapai Rp1,784 miliar,” papar Miswar.
Dalam gugatan yang telah didaftarkan di PN Blangpidie, pihak penggugat menuntut PLN untuk membayar kerugian materil sebesar Rp784.200.000 secara tunai dan sekaligus, serta kerugian immaterial senilai Rp1.000.000.000.
Kerugian materil dihitung berdasarkan total nilai produksi ayam yang mati, biaya perawatan, pakan, dan kerusakan fasilitas peternakan. Sedangkan kerugian immaterial meliputi rusaknya reputasi usaha, hilangnya kepercayaan mitra bisnis, dan penderitaan moril akibat kelalaian pelayanan publik oleh PLN.
“Peternakan klien kami selama ini dikenal produktif dan memiliki jaringan kerja sama dengan beberapa pihak. Namun, akibat kejadian ini, reputasi usahanya terganggu dan menyebabkan kehilangan kepercayaan dari mitra. Itu sebabnya kami menilai kerugian materialnya cukup besar,” ujar Miswar.
Ia menegaskan bahwa gugatan ini bukan semata-mata untuk kepentingan kliennya saja, tetapi juga sebagai bentuk peringatan kepada PLN agar lebih profesional dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, terutama di sektor usaha produktif yang sangat bergantung pada listrik.
“Pemadaman tanpa pemberitahuan bukan hanya soal teknis, tapi soal tanggung jawab publik. Banyak pelaku usaha kecil dan menengah di Aceh yang bergantung pada listrik, dan mereka juga bisa menjadi korban berikutnya jika PLN tidak memperbaiki pelayanannya,” kata Miswar menegaskan.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak PLN belum memberikan keterangan resmi terkait gugatan tersebut. Namun, jawaban somasi yang sebelumnya dikirim ke pihak penggugat hanya berisi permintaan maaf kepada pelanggan atas gangguan pasokan listrik yang terjadi di wilayah Aceh.
Sejumlah warga di Kabupaten Aceh Barat Daya turut mengeluhkan kondisi serupa, di mana pemadaman listrik kerap terjadi tanpa jadwal yang jelas. Beberapa di antaranya menyebut, gangguan listrik itu sudah berulang kali menimbulkan kerugian bagi usaha kecil seperti toko kelontong, bengkel, hingga rumah makan.
“Kalau listrik mati satu jam saja, ayam bisa stres. Tapi ini sampai tiga hari berturut-turut, wajar kalau peternak rugi besar. PLN harusnya bertanggung jawab,” ujar seorang warga Babahrot yang enggan disebut namanya
Gugatan yang diajukan Muhammad Hatta ini menjadi kasus pertama di Aceh Barat Daya di mana peternak menggugat PLN secara perdata karena kelalaian pelayanan publik. Proses sidang perdana dijadwalkan akan digelar dalam waktu dekat di Pengadilan Negeri Blangpidie.
Masyarakat pun berharap agar proses hukum ini dapat menjadi momentum evaluasi besar bagi PLN dalam meningkatkan kualitas pelayanan di Aceh, yang selama ini kerap mengalami gangguan listrik berkepanjangan tanpa kepastian penyelesaian.
Editor: RedaksiReporter: Teuku Nizar

















