Sigli – Sore itu, antrean memanjang di salah satu pangkalan LPG 3 kilogram di Kecamatan Grong-grong. Puluhan warga berdiri sambil memegang tabung kosong, berharap bisa membawa pulang gas melon untuk kebutuhan dapur mereka. Namun saat pembelian berlangsung, fakta lain mencuat: harga yang diberikan pangkalan tembus Rp 22 ribu per tabung, jauh di atas Harga Eceran Tetap (HET) Rp 18 ribu yang ditetapkan pemerintah.
Pelanggaran ini terungkap saat warga yang sudah mendapatkan tabungnya ditanyai harga beli oleh awak media.
Padup bang gas neublou saboh?” (Berapa bang harga gas satu tabung?) “Satu, Rp 22 ribu,” jawab seorang warga tanpa ragu.
Pantauan NOA.co.id pada Senin (7/12/2025) sore menunjukkan pangkalan tersebut beroperasi tanpa pengawasan apa pun. Tidak ada petugas yang memantau harga, tidak ada aparat yang menjaga jalur distribusi. Dalam situasi itu, gas melon dijual begitu saja di atas ketentuan resmi.
Ironisnya, sebagian besar warga memilih diam. Mereka hanya ingin kebutuhan memasak terpenuhi, terutama setelah banyak wilayah di Pidie terdampak musibah beberapa hari terakhir.
“Kami memang tidak mau mempermasalahkannya, yang penting ada gas. Ya namanya kami masyarakat mau bagaimana, yang bertindak kan pemerintah,” ungkap seorang warga.
Meski masyarakat enggan bersuara, praktik tersebut jelas menyalahi aturan. Harga Rp 22 ribu bukan hanya melewati HET, tetapi juga membuka ruang bagi permainan harga yang merugikan warga kecil—terutama saat situasi darurat, ketika daya tawar masyarakat rendah dan kebutuhan mendesak.
Pertamina dan Pemerintah Kabupaten Pidie diminta tidak menutup mata. Tindakan tegas terhadap pangkalan nakal menjadi keharusan agar distribusi LPG subsidi tetap sesuai peruntukan, terutama di tengah meningkatnya kebutuhan pascabencana.
Tanpa pengawasan, kelangkaan bisa diciptakan, harga bisa dinaikkan sepihak, dan masyarakat kecil tetap menjadi korban.
Editor: Amiruddin. MKReporter: Amir Sagita










