Banda Aceh – Desakan agar Pemerintah Indonesia membuka akses seluas-luasnya bagi organisasi non-pemerintah (NGO) internasional semakin menguat menyusul bencana banjir besar yang melanda sejumlah wilayah di Aceh. Memasuki fase pasca banjir, berbagai daerah masih menghadapi krisis yang berkepanjangan, mulai dari kekurangan air bersih, sanitasi buruk, hingga meningkatnya potensi wabah penyakit.
Analis kebijakan publik sekaligus tokoh masyarakat Aceh, Samsul Bahri, menilai bahwa fase pasca banjir merupakan titik paling kritis dalam penanganan bencana karena dampaknya berlangsung lebih lama dibanding fase darurat saat banjir terjadi.
“Pasca banjir adalah fase paling krusial. Banyak wilayah sedang menghadapi ancaman kesehatan, sanitasi yang rusak, serta hilangnya infrastruktur vital. Karena itu pemerintah perlu membuka akses bagi NGO internasional agar dukungan logistik, medis, dan pemulihan jangka panjang bisa dilakukan segera,” tegas Samsul di Jakarta.
Menurutnya, kapasitas pemerintah daerah sering kali terbatas dalam penanganan bencana berskala besar. Keterlibatan NGO internasional dinilai dapat mempercepat proses pemulihan, khususnya dalam penyediaan tempat tinggal sementara, layanan kesehatan, suplai air bersih, serta perbaikan infrastruktur dasar yang rusak parah.
“NGO internasional memiliki sumber daya dan teknologi pemulihan cepat, termasuk tenaga medis dan kemampuan penyediaan air bersih. Itu semua sangat dibutuhkan masyarakat Aceh saat ini,” lanjutnya.
Laporan relawan di lapangan menyebutkan sejumlah daerah terdampak banjir masih terisolasi secara logistik akibat jalan yang tertutup lumpur, jembatan putus, serta jaringan listrik yang belum sepenuhnya pulih. Kondisi ini membuat distribusi bantuan tambahan—seperti makanan anak dan lansia, obat-obatan, hingga kebutuhan sanitasi—berjalan lambat.
Samsul mendorong pemerintah untuk membuka humanitarian corridor yang memungkinkan NGO internasional masuk dan beroperasi tanpa hambatan administratif yang dapat memperlambat respons kemanusiaan.
“Ini bukan waktunya birokrasi bertele-tele. Ancaman penyakit seperti diare, leptospirosis, dan demam berdarah bisa muncul kapan saja. Akses bantuan harus dibuka selebar-lebarnya agar korban tidak jatuh dalam bencana susulan,” ujarnya.
Selain itu, ia menilai pemerintah perlu memperkuat sistem pendataan real-time terkait kerusakan, persebaran korban, dan kebutuhan mendesak di setiap wilayah. Tanpa data akurat, proses pemulihan dikhawatirkan tidak merata dan berpotensi menimbulkan ketimpangan antarwilayah.
Samsul juga menyoroti bahwa banyak negara telah menerapkan pola kolaborasi kuat antara pemerintah dan NGO internasional dalam pemulihan pascabencana, dan terbukti mempercepat rehabilitasi sosial serta ekonomi masyarakat.
“Aceh sedang diuji. Pemerintah harus berani membuka ruang kolaborasi internasional agar proses pemulihan berjalan cepat dan tepat sasaran. Ini langkah strategis yang tidak boleh ditunda,” tutupnya.
Editor: Amiruddin. MK










