Oleh: Idaman Syahputra Caniago
Di barat Indonesia, tepatnya di Pulau Banyak Barat, kehidupan nelayan kini seperti layar perahu yang kehilangan angin. Bukan karena laut sedang murka atau musim sedang tak bersahabat, melainkan karena satu hal yang seharusnya sederhana namun berdampak besar: kelangkaan bahan bakar minyak (BBM).
Tangki mesin kosong membuat perahu-perahu nelayan tertambat lebih lama dari biasanya. Di kawasan pesisir terpencil ini, BBM bukan sekadar komoditas—ia adalah denyut nadi ekonomi dan kehidupan masyarakat. Tanpanya, nelayan hanya bisa menatap laut tanpa bisa melaut.
Kecamatan Pulau Banyak Barat, Kabupaten Aceh Singkil, terdiri dari empat desa: Haloban, Asantola, Ujung Sialit, dan Suka Makmur. Mayoritas penduduknya adalah nelayan yang mengandalkan pancing ulur, rawai, jaring insang, jaring angkat, dan bubu untuk menangkap ikan.
Semua alat tangkap itu membutuhkan perahu bermesin, dan setiap mesin butuh bahan bakar — utamanya bensin atau pertalite.
Berdasarkan data perikanan Aceh Singkil tahun 2023, terdapat sekitar 1.115 nelayan aktif di kawasan ini. Sebagian besar adalah kepala keluarga yang menafkahi rumah tangga dari hasil laut.
Namun, dalam beberapa pekan terakhir, bahan bakar yang menjadi urat nadi kehidupan mereka semakin sulit didapat. Pasokan pertalite yang datang dari pengecer jalur laut terbatas, tak mampu memenuhi kebutuhan nelayan. Banyak perahu yang akhirnya tak bisa berangkat.
Krisis ini bukan hanya mengganggu mata pencaharian. Harga pertalite yang semula Rp10.000 per liter kini melonjak menjadi Rp13.000.
Ketika pasokan tersendat, biaya operasional melaut membengkak. Nelayan terjepit antara kebutuhan mencari ikan dan keterbatasan bahan bakar.
Masalah BBM di Pulau Banyak Barat bukan sekadar tentang nelayan yang tidak bisa melaut. Lebih dalam dari itu, kelangkaan BBM menyeret seluruh sendi kehidupan masyarakat.
Satu-satunya akses distribusi barang dan mobilitas warga adalah jalur laut. Ketika BBM langka, ongkos transportasi ikut naik, harga sembako ikut melonjak, dan daya beli masyarakat merosot.
Pendapatan nelayan yang biasanya cukup untuk biaya hidup kini tergerus. Dalam kondisi ini, biaya melaut sering kali tidak sebanding dengan hasil tangkapan. Ironisnya, kondisi ini terus berulang tanpa solusi yang jelas dari pihak berwenang.
Fenomena ini adalah potret telanjang ketimpangan akses energi di Indonesia. Di perkotaan, masyarakat bebas mengisi bahan bakar kendaraan kapan saja. Sementara di pesisir terpencil, masyarakat harus menunggu kapal pengangkut BBM yang datang tak menentu—itu pun sering kali tidak cukup.
Nelayan di Pulau Banyak Barat tidak sendirian. Di Tanjungkasuari, Papua Barat Daya, keluhan serupa juga terdengar: kelangkaan pertalite membuat banyak nelayan terpaksa tidak melaut. Ini bukan sekadar masalah logistik, melainkan masalah ketidakadilan energi.
Sudah saatnya pemerintah pusat dan daerah berhenti melihat persoalan ini sebagai rutinitas tahunan. Distribusi BBM di wilayah terpencil harus dibenahi secara sistematis.
Pengawasan ketat dan sistem distribusi khusus wilayah kepulauan perlu dibangun agar pasokan BBM tidak lagi terputus-putus.
Pemerintah perlu memperkuat kehadiran negara di wilayah perbatasan dan kepulauan. Program subsidi energi atau skema distribusi BBM khusus nelayan harus diperluas agar masyarakat pesisir tak lagi menjadi korban ketimpangan pembangunan.
Nelayan tidak menuntut banyak. Mereka tidak meminta subsidi besar, atau proyek mercusuar. Mereka hanya ingin bahan bakar yang cukup untuk melaut dan menafkahi keluarga. Jika kebutuhan dasar itu saja tak terpenuhi, maka jargon “kesejahteraan nelayan” tak lebih dari kalimat kosong dalam pidato.
Krisis BBM di Pulau Banyak Barat adalah peringatan keras. Bahwa ada kelompok masyarakat di ujung negeri yang masih berjuang sendiri, di tengah janji pemerataan pembangunan.
Akses energi yang tidak merata bukan hanya menghambat perekonomian lokal, tapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap negara.
Negara tidak boleh absen. Karena di balik setiap liter BBM yang hilang, ada perahu nelayan yang tak jadi berlayar. Ada keluarga yang kehilangan penghasilan. Ada masa depan yang perlahan memudar.
Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Universitas Syiah Kuala
Editor: Redaksi