Banda Aceh – Suara gesekan pedang beradu terdengar riuh di Gedung Olahraga (GOR) Stadion Harapan Bangsa, Banda Aceh. Di tengah dinginnya lantai dan sorak dukungan dari pinggir arena, beberapa anak muda dari Pidie berdiri dengan seragam putih, masker, dan senjata anggar di tangan. Di balik perlengkapan itu, ada dada yang berdebar dan mimpi yang mereka bawa: mengharumkan nama Pidie di ajang Pra PORA 2025.
Cabang olahraga anggar Pidie memang tidak datang dengan rombongan besar, namun semangat mereka meluber. Satu per satu nomor dipertandingkan, dan perlahan tapi pasti, nama Pidie mulai berkumandang di meja juri. Hingga laga-laga penentuan, empat medali berhasil mereka amankan.
Ketua Ikatan Anggar Seluruh Indonesia (IKASI) Kabupaten Pidie, Fauzi Kasem, mengikuti setiap pertandingan dengan wajah tegang. Sesekali ia memberi isyarat, sesekali menepuk bahu atlet yang baru turun dari arena.
“Anak-anak bermain penuh semangat dan perjuangan yang tidak melelahkan,” ujarnya pelan, Kamis (20/11/2025). “Alhamdulillah mereka untuk sementara mendapat empat medali. Kita terus berusaha agar mereka semua bisa lolos ke PORA tahun 2026.”
Di antara deretan nama, Farah menjadi salah satu sorotan. Turun di kelas degen putri, ia menorehkan dua medali sekaligus: satu emas kategori junior dan satu perunggu. Di balik medali yang menggantung di lehernya, ada cerita tentang latihan panjang, jatuh bangun, dan rasa lelah yang tak pernah benar-benar ia pedulikan.
“Farah di kelas degen putri bisa ambil satu emas junior dan satu perunggu. Itu jadi penyemangat yang luar biasa,” kata Fauzi.
Tak hanya Farah, di kelas kadet ada Malik yang tampil di nomor sabre. Gerakannya lincah, tangannya cekatan, matanya tajam mengamati lawan. Di nomor itu, Malik sukses menyumbang satu medali perunggu. Dari nomor floret putri dan degen putra, dua medali perunggu lainnya juga lahir, menambah koleksi bagi Pidie di Pra PORA kali ini.
Bagi Fauzi, medali-medali ini bukan sekadar angka di klasemen. Di baliknya ada bukti bahwa anggar Pidie masih hidup, tumbuh, dan punya masa depan.
“Alhamdulillah, mereka memang benar-benar berjuang untuk Pidie,” tegasnya.
Di luar arena, para atlet itu kembali menjadi anak-anak biasa: tertawa, bercanda, dan saling mengejek ringan. Namun begitu masuk gelanggang, mereka menjelma jadi petarung yang membawa nama daerah di dada. Empat medali yang mereka bawa pulang dari Pra PORA bukanlah titik akhir, melainkan pijakan awal menuju panggung yang lebih besar: PORA 2026.
Di antara gemerlap cabang olahraga lain, anggar mungkin belum seramai sepak bola atau bulu tangkis. Tapi di GOR Stadion Harapan Bangsa, lewat empat medali itu, anak-anak Pidie telah membuktikan satu hal: dengan disiplin dan keberanian, olahraga yang sunyi ini mampu bersuara lantang untuk daerah mereka.
Editor: Amiruddin. MKReporter: Amir Sagita













