Di sebuah desa kecil bernama Lamie, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh, seorang anak laki-laki tumbuh dalam keterbatasan ekonomi yang membalut seluruh kehidupannya. Ia adalah Muis, anak keenam dari tujuh bersaudara dari pasangan sederhana, Tgk. Burhanuddin dan almarhum Zainal. Tak ada kemewahan dalam keluarganya, yang ada hanyalah tekad, kerja keras, dan doa yang tak pernah putus. Sejak kecil, Muis terbiasa hidup dalam keterbatasan. Saat teman-teman sebayanya bisa fokus belajar, ia harus berbagi waktu membantu orangtua bekerja.
Di sekolah dasar, ia harus menempuh waktu delapan tahun karena harus mengulang dua kali di kelas 1 dan kelas 3. Tapi dari sanalah benih ketekunan mulai tumbuh. Ia menyadari bahwa satu-satunya jalan keluar dari lingkaran kemiskinan adalah pendidikan. Perjalanan pendidikannya berlanjut ke jenjang SMP pada 2003, lalu ke Madrasah Aliyah pada 2006, dan kuliah S-1 pada 2009. Meski tak mudah, Muis menuntaskan studi sarjananya dalam lima tahun. Setelah bekerja keras dan menabung, ia melanjutkan studi Magister dan meraihnya pada tahun 2016. Tapi ambisinya belum berhenti. Ia menatap satu tujuan besar: meraih gelar doktoral, gelar akademik tertinggi.
Mimpi yang Nyaris Pupus
Tahun 2019 dengan segala keberanian, Muis mulai berburu beasiswa S-3 dengan tanpa beasiswa, mimpi itu hanya akan tinggal angan. Muis mencoba nasib untuk mendaftar beasiswa BPPDN Kemenristekdikti namun gagal, tapi semangat pendidikan dia tidak berputus asa, dia mencoba beasiswa Aceh Carong untuk dosen dari Pemerintah Aceh namun hasilnya gagal juga. Tak menyerah, ia mencoba beasiswa BAZNAS pada tahun 2020 dan hasilnyapun gagal lagi, dengan jiwa petarung yang tinggi Muis kembali mencoba Aceh Carong jalur umum hasilnya tetap sama.
Bagi Muis, setiap penolakan adalah tamparan tapi bukan akhir, ia tetap mengajar, tetap menulis, tetap berdoa, dan terus memupuk harapan meski sering merasa tidak cukup pintar, tidak cukup beruntung, atau tidak cukup dikenal, ia percaya bahwa usaha tidak akan mengkhianati hasil sehingga Muis kembali bertarung nasib dengan mendaftar Beassiwa Pendidikan Indonesia (BPI) pada tahun 2021.
Cahaya dari Timur: Makassar Memanggil
Tahun 2021 menjadi titik balik saat harapan mulai memudar, namanya diumumkan lulus Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI), salah satu beasiswa bergengsi yang diselenggarakan oleh Kemendikbudristek dari ribuan pelamar se-Indonesia, Muis terpilih sebagai salah satu penerima. Ia diterima di Program Doktor Ilmu Administrasi Publik, Universitas Negeri Makassar, Sulawesi Selatan sebuah perjalanan lintas pulau yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Tak mudah meninggalkan keluarga, terutama istri tercinta, Ns. Ellyza Fazlylawati, M.Kep., Sp.KMB, dan buah hati mereka, Azka Alfarizqi, yang masih kecil. Tapi mereka mengerti ini bukan hanya perjuangan seorang suami dan ayah ini adalah perjuangan untuk masa depan yang lebih baik untuk keluarga, sahabat dan tentunya pada daeraeh Kabupaten Nagang Raya..
Di Makassar, Muis hidup sederhana. Beasiswanya cukup untuk hidup pas-pasan. Ia harus membagi waktu antara riset, tugas kuliah, dan rindu yang sering datang tiba-tiba, tapi semua itu ia hadapi dengan sabar karena di ujungnya ada mimpi yang hendak ia wujudkan: menjadi doktor pertama dari desanya, dari kabupatennya, dan dari kampus tempat ia mengabdi.
Sebuah Pencapaian, Sebuah Sejarah
Tahun demi tahun berlalu. Muis menuntaskan studinya dengan kerja keras, doa, dan dedikasi penuh. Ia akhirnya meraih gelar Doktor Ilmu Administrasi Publik, menjadikannya:
Orang pertama dari Gampong Lamie yang meraih gelar akademik tertinggi.
Orang pertama dari Kabupaten Nagan Raya yang menjadi doktor di bidang Ilmu Administrasi Publik.
Dosen pertama di Universitas Al Washliyah Darussalam Banda Aceh yang meraih gelar doktor di bidang tersebut.
Muis bukan hanya menorehkan prestasi pribadi. Ia membuka jalan, ia menjadi cahaya bagi anak-anak desa yang ragu apakah mimpi mereka terlalu tinggi. Ia menunjukkan bahwa dari desa terpencil pun, seseorang bisa bersaing secara nasional, dan menang.
Pesan dari Muis
Kini, sebagai dosen di dua universitas ternama di Aceh, ia tidak hanya mengajar, tapi juga membagikan kisahnya. Ia berpesan kepada generasi muda: “Jangan takut bermimpi. Jangan takut gagal. Keterbatasan bukan alasan untuk menyerah. Kalau saya bisa, kalian juga bisa.”
Editor: Redaksi