Banda Aceh – Pengungkapan kasus pembunuhan seorang mahasiswa bernama Dhiaul Fuadi (20) di Jeulingke, Banda Aceh terus bergulir hingga sidang ke-6 dalam agenda penyampaian pernyataan oleh saksi dari pihak terdakwa di Pengadilan Negeri Banda Aceh, pada Selasa (6/5/2025).
Pembunuhan yang terjadi pada 11 Oktober 2024 ini dinilai menyisakan banyak kejanggalan dalam proses penyidikan dan penetapan ZF (19) sebagai pelaku. ZF sendiri merupakan warga asal Peudada, Kabupaten Bireun yang sedang mengurus kelengkapan berkas CPNS di Banda Aceh saat kejadian tersebut.
Berdasarkan sidang sebelumnya, terdakwa diduga melakukan pembunuhan dengan motif ingin mencuri handphone milik korban lantaran pelaku membutuhkan uang untuk kembali ke kampung halaman. Takut perbuatannya diketahui, pelaku lantas membunuh korban dengan sebuah pisau yang berada di kos milik korban.
Menurut Helfandra Busrian, kuasa hukum ZF, ia menyatakan beberapa hal yang janggal dalam penyidikan yang selama ini berlangsung. Menurutnya, pengakuan ZF sendiri sebagai pelaku tidak dapat dijadikan acuan lantaran ZF dipaksa mengaku sebagai pelaku sembari ditodong 4 pistol dikepalanya dan dipukuli oleh tim penyidik.
“Selain itu, hingga hari ini penyidik tidak dapat membuktikan keberadaan jejak ZF di lokasi kejadian. Mulai dari sidik jari hingga jejak DNA ZF disana. Alasan sidik jari tidak ada karena pisau yang menjadi barang bukti sudah terkena air. Sedangkan kita ketahui bahwa air tidak bisa menghilangkan sidik jari,” Ujar Helfandra.
Ia juga mendesak pihak penyidik untuk melakukan autopsi pada mayat korban namun tidak disetujui oleh pihak keluarga korban.
“Autopsi itu perlu apalagi dalam kasus pembunuhan, tidak cukup dengan visum saja. Padahal autopsi sangat membantu untuk mengetahui kesesuaian antara ucapan saksi, pelaku dan hal yang dialami korban,” tambahnya.
Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibawa oleh Helfandra, tertulis bahwa benar pelaku sempat dua kali bolak-balik lokasi kejadian dengan niat awal ingin menjumpai adik korban yang merupakan temannya. Namun saat itu ia melihat sesosok mayat dikamar kos tersebut sehingga ia ketakutan dan memutuskan pergi. Karena penasaran dan merasa ragu terhadap yang ia lihat, ia pun kembali ke kamar kos tersebut dan memeriksa melalui jendela lalu pergi dengan rasa takut tanpa melapor kepada siapa pun.
“Sialnya, entah bagaimana ZF dituduh sebagai pelaku tanpa bukti konkrit. Tiba-tiba saja tim penyidik menangkap ZF di asrama dengan alasan semua bukti merujuk kepadanya. Sedangkan di hari kejadian, handphone yang katanya ingin dicuri oleh ZF tidak berada ditangan ZF dan tergeletak begitu saja dilokasi kejadian. Bahkan setelah pemeriksaan TKP, HP tersebut dibawa oleh Ramadhan Nur yang merupakan abang sepupu korban dan baru diminta oleh tim penyidik pada Januari 2025,” ujarnya.
Pada hari persidangan, orang tua pelaku juga turut hadir. M. Razi, ayah pelaku berharap persidangan dapat berjalan sesuai prosedur dengan bukti yang cukup jika memang benar anaknya bersalah.
“Kalau penyidikannya seperti ini dengan bukti yang kurang, dunia akhirat pun saya ga ikhlas anak saya dihukum begitu saja. Saya menuntut martabat keluarga saya dipulihkan,” Ungkap M. Razi.
Editor: Amiruddin. MKReporter: Hulwa Dzakira