Jakarta – Universitas Borobudur menggelar sidang terbuka promosi doktor di bidang Ilmu Hukum, Selasa, 16 September 2025, di Gedung D, Kampus A Universitas Borobudur, Jakarta Timur. Kali ini, sidang terbuka promosi doktor Ilmu Hukum menjadi momen penting bagi Dr. Yanwiyatono Prastyanto, S.Kom., S.H., M.H. Dirinya berhasil lulus dengan menyandang predikat cumlaude.
Ia merupakan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum dari Angkatan 26, yang berhasil meraih gelar Doktor setelah mempertahankan disertasinya yang berjudul “Pembaharuan Hukum Sistem Peradilan Militer di Indonesia Melalui Penerapan Restorative Justice Guna Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Secara Efektif dan dengan Berkeadilan”.
Yanwiyatono Prastyanto lulus dari Kampus Unggul Universitas Borobudur di bawah bimbingan dari Prof Dr. Zainal Arifin Hoesein, S.H., M.H., selaku Promotor dan Dr. Evita Isretno Israhadi, S.H., M.H., M.Si., selaku Ko. Promotor.
Ia mengemukakan penelitian yang ia buat berangkat dari penerapan restorative justice (RJ) dalam sistem peradilan militer di Indonesia sebagai alternatif untuk kasus pidana ringan. Pendekatan ini bertujuan menciptakan penyelesaian perkara yang lebih manusiawi dengan fokus pada pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan institusi militer, sambil tetap memperhatikan aspek kedisiplinan dan kepastian hukum.
Dirinya menyampaikan, sistem peradilan militer yang cenderung represif dan berorientasi pada hukuman formal memerlukan reformasi agar mekanisme RJ dapat mengakomodasi kasus-kasus tertentu secara lebih fleksibel dan adil.
Penelitian ini mengeksplorasi tiga aspek utama, alasan penerapan RJ ini mencakup kebutuhan akan pendekatan yang lebih humanis, efektivitas dalam penyelesaian damai, dan pengurangan beban peradilan.
“Hambatannya, meliputi keterbatasan regulasi, kurangnya pemahaman aparat hukum militer, dan tantangan dalam menjaga keseimbangan antara keadilan restoratif dengan prinsip hierarki dan disiplin militer,” kata Yanwiyatono di Jakarta, Selasa (16/9/2025).
Ia menguraikan bahwa pembaharuan hukum diperlukan revisi Undang-Undang Peradilan Militer, peningkatan koordinasi antar lembaga, dan penguatan mekanisme pengawasan untuk mendukung implementasi RJ. Metode yang digunakan adalah pendekatan hukum normatif dengan analisis perundang-undangan dan konseptual. Data dikumpulkan melalui observasi dan wawancara dengan praktisi hukum militer (data primer) serta peraturan, jurnal, dan literatur hukum (data sekunder).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa RJ dapat menjadi solusi yang lebih efektif dan adil untuk kasus pidana ringan, meskipun masih menghadapi tantangan regulasi dan implementasi. Oleh karena itu, lanjut dia, diperlukan pembaharuan hukum yang komprehensif agar RJ dapat diterapkan secara sistematis tanpa mengurangi integritas dan disiplin militer. Dengan reformasi yang tepat, RJ dapat menjadi instrumen hukum yang menyeimbangkan keadilan, ketertiban, dan kepentingan institusional militer.
Lebih lanjut, dirinya menguraikan tujuan penelitian ini untuk menghadirkan mekanisme peradilan yang lebih humanis, efisien, dan berkeadilan, namun tetap menjaga wibawa hukum serta kedisiplinan sebagai prinsip fundamental dalam institusi militer.
Untuk itu, ia menyimpulkan bahwa pendekatan Restorative Justice (RJ) memiliki landasan yang kuat untuk diterapkan dalam peradilan militer di Indonesia.
“Secara Yuridis, selaras dengan prinsip keadilan UUD 1945 Pasal 28D dan dapat diintegrasikan melalui revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Kemudian secara sosiologis: Sesuai dengan budaya TNI yang menjunjung solidaritas dan kohesi tim, karena RJ mengutamakan pemulihan hubungan daripada sekadar hukuman,” paparnya.
Untuk secara filosofis, mencerminkan nilai-nilai Pancasila seperti musyawarah, gotong royong, keadilan substantif, dan kemanusiaan. “Hambatan utama dalam penerapan RJ adalah ketidaksiapan sistem hukum dan kurangnya regulasi yang jelas. Tidak adanya landasan hukum yang tegas menyebabkan ketidakpastian dalam pelaksanaannya dan membatasi kewenangan aparat militer,” jelas dia.
Selain itu, kurangnya pemahaman aparat hukum militer dan tantangan dalam menjaga disiplin dan hierarki TNI juga memperburuk penerapannya.
Pembaharuan hukum yang diperlukan untuk mengakomodasi RJ harus dilakukan secara komprehensif.
Revisi undang-undang, khususnya UU No. 31 Tahun 1997, untuk memasukkan norma-norma penyelesaian non-litigasi.
Lalu juga penguatan kelembagaan, seperti pembentukan Unit Restorative Justice Militer (URJM).
“Penyusunan SOP yang rinci dan pemberian kewenangan formal kepada oditur dan hakim militer. Pengembangan sumber daya manusia melalui pelatihan dan sertifikasi, serta integrasi materi RJ dalam pendidikan militer. Dengan pembaharuan ini, diharapkan peradilan militer dapat menjadi lebih adil, efektif, dan sejalan dengan nilai-nilai keindonesiaan serta profesionalisme prajurit TNI,” tuturnya.
Dengan demikian, ia mendorong untuk
Meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang konsep Restorative Justice di kalangan aparat hukum militer, termasuk hakim, oditur, polisi militer, dan anggota TNI lainnya. Program pelatihan dan sosialisasi intensif perlu dilakukan untuk mengurangi resistensi dan mempermudah penerimaan prinsip-prinsip RJ. Selain itu juga melakukan revisi regulasi dan susun SOP yang jelas. Revisi Undang-Undang Peradilan Militer dan penyusunan SOP yang rinci harus mencakup prosedur mediasi, kewenangan Papera dan Oditur Militer, serta pengawasan terhadap pelaksanaan kesepakatan. Hal ini akan memastikan pelaksanaan RJ berjalan konsisten, adil, dan transparan.
“Terapkan sistem pengawasan yang efektif. Lembaga seperti Mahkamah Agung dan Panglima TNI perlu membentuk tim pengawasan untuk evaluasi berkala terhadap implementasi RJ. Pengawasan juga harus memonitor pelaksanaan kesepakatan damai dan rehabilitasi pelaku untuk memastikan mereka tidak mengulangi kesalahan dan dapat berkontribusi positif kembali,” tandasnya.
Editor: Poppy Rakhmawaty
















