Banda Aceh – Kepolisian Resor Kota Banda Aceh mengungkap perkembangan terbaru dalam kasus dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang melibatkan seorang gadis di bawah umur asal Aceh Besar. Dalam konferensi pers yang digelar Rabu (25/6/2025).
Kapolresta Banda Aceh Kombes Pol Joko Heri Purwono menyampaikan bahwa pihaknya kini tengah memburu dua tersangka yang telah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
Korban, berinisial PAF, remaja 16 tahun asal Aceh Besar, diduga menjadi korban perdagangan orang setelah dibujuk untuk bekerja di luar negeri. Namun setibanya di Malaysia, ia justru dijual dan dieksploitasi secara seksual.
“Satu tersangka berinisial RH (55) telah berhasil ditangkap saat akan melarikan diri ke Malaysia melalui Bandara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru, pada Kamis 19 Juni lalu,” ujar Kapolresta. RH diketahui merupakan warga Lhokseumawe yang berperan sebagai perekrut awal korban.
Dua tersangka lain, masing-masing EN (38) warga Pidie dan RD (41) warga Aceh Besar, masih buron dan diduga berada di Malaysia. Keduanya diduga berperan penting dalam memalsukan dokumen korban serta memfasilitasi pengiriman korban ke luar negeri. Keduanya diketahui menjalin hubungan gelap dan turut mengatur perjalanan korban dari Aceh hingga ke Malaysia melalui jalur laut ilegal.
“Korban sebelumnya sempat tinggal bersama nenek dan bibinya di Aceh Timur setelah orang tuanya berpisah. Pada September 2024, ia memutuskan pindah ke Banda Aceh dan tinggal di rumah kost,” terang Kasat Reskrim Kompol Fadilah Aditya Pratama dalam kesempatan yang sama.
Di Banda Aceh, korban kemudian mengenal EN dan RD yang menjanjikan pekerjaan di luar negeri. Karena tidak memiliki dokumen resmi, korban dibuatkan KTP dan paspor palsu oleh kedua tersangka dengan bantuan jaringan mereka.
Setelah dokumen selesai, korban dibawa ke Aceh Utara dan kemudian diberangkatkan melalui jalur darat dan laut menuju Malaysia. Di negeri jiran itu, korban sempat bekerja sebagai asisten rumah tangga sebelum akhirnya dijual ke seorang perempuan warga Malaysia keturunan India yang dikenal dengan nama Kak Su.
“Korban dijual seharga 25 ribu Ringgit Malaysia atau sekitar Rp96 juta untuk dijadikan wanita penghibur. Ia sempat tinggal di hotel dan mengalami eksploitasi seksual setelah dibeli oleh pelanggan,” lanjut Fadilah.
Penyidik menduga kuat Kak Su adalah bagian dari jaringan perdagangan manusia lintas negara. Saat ini, proses hukum terhadap yang bersangkutan masih dalam tahap penyelidikan, dan kepolisian akan melibatkan Divisi Hubungan Internasional (Divhubinter) Mabes Polri untuk menindaklanjuti kasus ini di ranah internasional.
Polisi telah menyita sejumlah barang bukti dalam kasus ini, termasuk dokumen perjalanan, kartu identitas, paspor, ATM, ponsel milik korban maupun tersangka.
Para tersangka dijerat dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO dengan ancaman hukuman penjara minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun serta denda hingga Rp600 juta. Karena korban masih di bawah umur, ancaman pidana ditambah sepertiga dari hukuman pokok.
Selain itu, tersangka juga dijerat dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi serta Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan karena terlibat dalam pemalsuan identitas korban.
“Proses penyelidikan masih terus berlanjut. Kami bekerja sama dengan Imigrasi, BP3MI, UPTD PPA Aceh dan instansi terkait lainnya untuk mengungkap seluruh jaringan dalam kasus ini,” tegas Kapolresta.
Kasus ini menjadi peringatan serius bagi masyarakat terhadap bahaya perdagangan orang, terutama yang menyasar anak-anak dan perempuan yang rentan terhadap bujuk rayu pekerjaan di luar negeri. Pihak kepolisian mengimbau masyarakat untuk lebih waspada dan melapor jika menemukan indikasi praktik TPPO di lingkungan sekitar.