Baru-baru ini, jagad maya dikejutkan oleh tindakan razia terhadap kendaraan berpelat BL oleh Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution, dan jajarannya, yang berlokasi di Kabupaten Langkat Sumatra Utara Razia ini bukan hanya menjadi perbincangan lokal, namun juga telah menjadi isu nasional yang menyentuh perasaan kolektif masyarakat Aceh. Banyak tokoh, baik dari kalangan pemerintahan, adat, maupun masyarakat sipil Aceh, mengecam tindakan tersebut karena dinilai tidak hanya meresahkan, tapi juga berpotensi memicu konflik antarwilayah, serta mencederai prinsip-prinsip demokrasi dan semangat kebhinekaan.
Sejatinya, masyarakat Aceh yang masuk ke Medan bukan untuk membuat masalah, melainkan berkontribusi aktif terhadap perputaran ekonomi di Sumatera Utara, termasuk Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang secara tidak langsung ikut mereka sumbangkan. Maka, ketika tindakan represif seperti razia terhadap pelat BL dilakukan tanpa alasan hukum yang kuat dan komunikasi antarpemerintah daerah yang jelas, hal ini tentu memicu reaksi emosional yang wajar dari masyarakat Aceh.
Yang menjadi pertanyaan besar adalah: apakah tindakan razia ini adil secara timbal balik. Sebab, sebagaimana diketahui, di wilayah Aceh sendiri beroperasi ribuan kendaraan dengan pelat BK, baik itu mobil pribadi, angkutan umum, bahkan truk-truk besar milik perusahaan dari Sumatera Utara. Namun sejauh ini, tidak pernah terdengar adanya tindakan razia atau pembatasan dari pihak Pemerintah Aceh terhadap kendaraan-kendaraan berpelat BK tersebut.
Jika merujuk pada logika keadilan dan rasa saling menghargai antarwilayah, maka tindakan Pemerintah Sumatera Utara terhadap pelat BL justru mencederai semangat kerja sama dan hubungan historis antara masyarakat Aceh dan Sumatera Utara. Hal ini pun dapat menimbulkan efek domino kebijakan sepihak seperti ini bisa menciptakan pembalasan kebijakan di wilayah lain dan memperuncing polarisasi antar daerah yang sejatinya bisa dihindari.
Sumatera Utara dan Aceh memiliki sejarah panjang kebersamaan, saling ketergantungan, dan hubungan sosial ekonomi yang saling menguntungkan. Keberadaan pelat BL di Medan seharusnya dilihat sebagai bentuk partisipasi masyarakat Aceh dalam membangun kota itu. Demikian pula keberadaan pelat BK di Aceh tidak pernah dipermasalahkan karena masyarakat Aceh terbuka terhadap kerja sama lintas daerah.
Oleh karena itu, tindakan razia yang dilakukan terhadap pelat BL tanpa kajian yang matang dan komunikasi antardaerah yang terbuka, hanya akan memperdalam luka sosial dan bisa merusak silaturahmi yang telah lama terjalin. Pemerintah Kota Medan sebaiknya mengevaluasi kembali kebijakan tersebut dan membuka ruang dialog dengan Pemerintah Aceh.
Sebaliknya, Pemerintah Aceh harus bersikap diplomatis, cerdas, dan tidak reaktif. Bangun komunikasi yang sehat, dorong penyelesaian yang adil, dan jadikan peristiwa ini sebagai pelajaran penting bahwa keutuhan bangsa Indonesia hanya dapat dijaga dengan keadilan dan kebijaksanaan.
Dampak Sosial dan Politik
Tindakan razia terhadap kendaraan pelat BL bukan hanya berdampak pada aspek lalu lintas atau peraturan daerah semata, namun sudah menjurus ke persoalan identitas dan harga diri masyarakat Aceh. Kita tidak bisa memisahkan perlakuan terhadap simbol-simbol seperti pelat kendaraan dari makna identitas regional. Dalam konteks Aceh, pelat BL bukan sekadar kode wilayah, tapi juga bagian dari jati diri masyarakatnya.
Masyarakat Aceh merasa seolah-olah tidak diinginkan di Medan, padahal kota tersebut telah menjadi tujuan utama mereka untuk berobat, bekerja, berdagang, hingga menempuh pendidikan. Keakraban sosial dan ekonomi yang sudah terbangun bertahun-tahun, bisa retak seketika karena tindakan sepihak seperti ini. Selain itu, isu ini pun bisa diseret menjadi bahan komoditas politik identitas yang berbahaya jika tidak segera ditangani dengan bijaksana.
Indonesia dibangun bukan hanya atas dasar wilayah administratif, tetapi atas dasar rasa saling percaya, hormat, dan semangat persaudaraan antar daerah. Ketika satu daerah merasa diperlakukan tidak adil, maka luka itu bukan hanya menjadi milik satu wilayah, tetapi mencoreng semangat persatuan yang telah dibangun dengan susah payah sejak masa kemerdekaan.
Aceh dan Sumatera Utara memiliki banyak hal untuk dibanggakan bersama: sejarah perjuangan, hubungan sosial budaya, dan interaksi ekonomi yang saling menguatkan. Jangan biarkan razia pelat nomor menjadi titik balik yang mencederai kebersamaan itu.
Kasus Pulau Banyak, Luka Lama yang Terulang
Masih segar dalam ingatan kita tentang persoalan klaim terhadap empat pulau di kawasan Pulau Banyak, Aceh Singkil, yang sempat menjadi sengketa wilayah antara Sumatera Utara dan Aceh. Perselisihan tersebut akhirnya diselesaikan di tingkat nasional oleh Presiden Prabowo Subianto, yang kemudian menyerahkan kembali keempat pulau tersebut ke Aceh Singkil, sesuai dengan peta wilayah administratif yang sah.
Namun luka dari peristiwa tersebut belum sepenuhnya sembuh, dan kini seperti dibuka kembali lewat kasus razia pelat BL. Seolah-olah ada pola kebijakan yang cenderung merugikan Aceh atau tidak melibatkan Aceh secara setara dalam pengambilan keputusan. Ini adalah sinyal bahwa hubungan antardaerah, khususnya antara Aceh dan Sumatera Utara, membutuhkan pendekatan komunikasi yang jauh lebih sehat, terbuka, dan berkeadilan.
Melihat eskalasi perasaan masyarakat yang mulai memanas, Pemerintah Aceh harus mengambil peran sebagai penengah yang cerdas dan tegas. Ada beberapa masukan dan solusi yang dapat dipertimbangkan yang coba pemulis tawarkan kepada pemerintah:
Pertama, Melakukan Diplomasi Antarwilayah Secara Resmi, pemerintah Aceh melalui Gubernur atau Sekda harus segera mengirimkan surat resmi kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk meminta klarifikasi atas dasar hukum razia tersebut. Pertemuan formal perlu difasilitasi oleh Kementerian Dalam Negeri agar tidak berlarut-larut.
Kedua, Menuntut Penerapan Hukum Secara Adil, jika razia dilakukan dengan dalih penegakan pajak atau kepatuhan kendaraan, maka semestinya hal itu dilakukan secara universal, termasuk terhadap pelat BK di Aceh. Tidak boleh ada standar ganda dalam penerapan aturan yang jelas dan tegas tanpa pilih kasih.
Ketiga, Mengedukasi Masyarakat untuk Tetap Tenang, pemerintah Aceh harus mengajak masyarakatnya untuk tidak terpancing emosi atau membalas dengan tindakan serupa. Edukasi publik dan narasi damai perlu dikedepankan agar tensi sosial tidak semakin memanas.
Keempat, Mengusulkan MoU Antarwilayah Terkait Lalu Lintas dan Ekonomi, untuk jangka panjang, perlu adanya nota kesepahaman antara Pemerintah Aceh dan Sumatera Utara terkait lalu lintas kendaraan, investasi, hingga pelayanan publik lintas daerah. Ini penting demi menjaga harmonisasi regional.
Kelima, melibatkan DPR Aceh dan Tokoh Adat, agar aspirasi masyarakat terwakili, Pemerintah Aceh perlu melibatkan legislatif serta tokoh adat dan ulama dalam menyuarakan keberatan terhadap razia ini. Aspirasi ini harus disampaikan ke tingkat nasional bila perlu.
Persoalan razia pelat BL ini bukan sekadar soal kendaraan, tapi menyangkut rasa keadilan, martabat, dan persaudaraan antar daerah. Jika tidak disikapi dengan bijak, luka-luka kecil seperti ini bisa tumbuh menjadi jurang pemisah yang dalam. Kita tidak sedang menjaga ego daerah, tapi merawat jalinan silaturahmi yang telah terbangun puluhan tahun antara Aceh dan Sumatera Utara.
Mari sudahi ketegangan ini dengan hati yang besar. Pemerintah di kedua daerah harus saling membuka ruang dialog, bukan menutup pintu dengan kebijakan sepihak. Jangan biarkan simbol seperti pelat nomor memisahkan kita sebagai satu bangsa. Saatnya keadilan menjadi jembatan, bukan tembok pembatas.
Saatnya duduk bersama, membuka ruang hati dan pikiran, bukan hanya demi menyelesaikan persoalan ini, tetapi demi menjaga warisan nilai-nilai kebhinekaan yang telah menjadi fondasi bangsa. Karena hanya dengan keadilan, kebijaksanaan, dan kasih sayang antarsesama anak bangsa, Indonesia bisa tetap utuh dan bermartabat di tengah keragaman. Terimaksih.
Editor: Redaksi