Jakarta – Ombudsman Republik Indonesia kembali menyuarakan urgensi perbaikan sistem dan sumber daya manusia (SDM) pada layanan keimigrasian secara menyeluruh. Desakan ini tidak hanya berfokus pada peningkatan deteksi dini Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), tetapi juga kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Hal itu diperkuat dengan temuan maladministrasi yang kerap terjadi dengan kasus-kasus imigrasi terkini di tahun 2025.
Perbaikan fundamental di tubuh imigrasi dianggap krusial untuk memastikan pelayanan publik yang adil, transparan, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Demikian disampaikan Kepala Keasistenan Utama Manajemen Pencegahan Maladministrasi Ombudsman RI, Andi. Perbaikan tersebut didasari data serta fakta lapangan terkait serangkaian asus TPPO lintas batas yang mencuat di awal tahun 2025.
“Pengawasan terhadap warga negara Indonesia (WNI) yang akan ke luar negeri perlu diperkuat untuk menghindari risiko perdagangan orang. Standar wawancara dan deteksi dini terhadap pemohon yang berisiko, misalnya, belum dijalankan optimal,” ujar Andi melalui keterangan tertulis yang diterima Hukumonline, Sabtu (28/6/2025).
Salah satu yang paling menonjol adalah penangkapan sindikat perdagangan orang di Bandara Soekarno-Hatta pada Februari 2025. Sindikat ini, dengan modus operandi yang rapi, berupaya menyelundupkan puluhan pekerja migran non-prosedural ke negara-negara Timur Tengah.
Kasus tersebut secara gamblang menyingkap kerentanan di titik-titik keberangkatan, sekaligus menyoroti betapa lemahnya identifikasi awal terhadap calon korban TPPO. Kurangnya koordinasi antar lembaga, ditambah dengan prosedur standar yang belum terimplementasi secara optimal, telah membuka celah bagi para pelaku kejahatan ini.
Di luar isu TPPO, Ombudsman juga menemukan berbagai bentuk maladministrasi dan ketimpangan pelayanan yang meresahkan. Ombudsman telah mengidentifikasi setidaknya 13 jenis kanal pengaduan yang masuk. Mulai dari WhatsApp, email, website, hingga kunjungan langsung ke kantor imigrasi.
Mayoritas laporan yang diterima Ombudsman secara konsisten menunjukkan kebingungan masyarakat dalam proses permohonan. Hal ini diperparah dengan temuan lapangan yang cukup mencengangkan: seringkali petugas keamanan (Satpam) di beberapa kantor imigrasi justru lebih memahami prosedur dan dapat memberikan penjelasan lebih lengkap dibandingkan petugas resminya.
“Ini mencerminkan bahwa ada gap besar dalam pelatihan dan standarisasi,” kata Andi.
Kesenjangan kompetensi ini tidak hanya menghambat efisiensi pelayanan, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap institusi. Masyarakat merasa tidak dilayani secara profesional dan seringkali harus bolak-balik karena informasi yang tidak akurat dari sumber resmi.
Selain masalah TPPO dan kompetensi SDM, Ombudsman menyoroti krusialnya perlindungan identitas WNI dan kesiapsiagaan dokumen saat bencana. Andi mengingatkan kembali pelajaran berharga dari tragedi masa lalu, seperti bencana Palu dan Cianjur.
“Ketika bencana Palu dan Cianjur terjadi, kami mendapati korban kesulitan mengakses layanan hanya karena kehilangan dokumen. Sistem seharusnya mampu mengantisipasi itu,” tegasnya.
Pentingnya kesiapan ini semakin mendesak, mengingat peningkatan frekuensi bencana hidrometeorologi di Indonesia pada pertengahan 2025. Bencana banjir, longsor, dan puting beliung yang terjadi akhir-akhir ini kerap menyebabkan kehilangan dokumen penting bagi para korban, menghambat akses mereka terhadap bantuan dan layanan dasar lainnya.
Imigrasi, sebagai salah satu garda terdepan dalam administrasi kependudukan WNI, harus memiliki sistem yang tanggap darurat, memungkinkan identifikasi dan verifikasi data yang cepat bahkan saat dokumen fisik hilang. Untuk mengatasi berbagai persoalan ini, Ombudsman mendorong integrasi sistem antar instansi.
Andi mencontohkan usulan integrasi data antara imigrasi dan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil). Integrasi ini akan sangat mempermudah masyarakat karena tidak perlu lagi bolak-balik mengurus data yang sama di dua instansi berbeda hanya untuk satu permohonan. Sayangnya, Andi mengakui bahwa usulan ini masih terkendala penganggaran.
Sebelumnya, Tim Pengawasan Orang Asing (TIMPORA) Kantor Imigrasi Kelas I Non TPI Bogor melalui Seksi Intelijen dan Penindakan Keimigrasian menggelar kegiatan rapat koordinasi lintas instansi pada bulan lalu. Kegiatan itu bertujuan mensinergikan instansi terkait dalam pengawasan orang asing,sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011tentang Keimigrasian.
Selain itu juga deteksi dini, pencegahan, dan penindakan terhadap pelanggaran dan kejahatan keimigrasian, pertukaran informasi dan PULBAKET sebagai dasar kebijakan. Kemudian koordinasi lintas sektor untuk menyatukan visi dan pengambilan keputusan bersama, pembentukan jaringan intelijen. Termasuk mempersempit ruang gerak pelaku TPPO, serta melaksanakan operasi gabungan untuk pengawasan dan pendataan orang asing.
Kepala Kantor Imigrasi Bogor, Ritus Ramadhana menyampaikan keberadaan Orang Asing di wilayah Bogor misalnya, sangat beragam. Meliputi pengungsi, pencari suaka, tenaga kerja asing, investor, pelajar, wisatawan, dan lainnya Dengan demikian diperlukan pengawasan yang tepat sasaran dan berkala.
Editor: Amiruddin. MKSumber: https://www.hukumonline.com/berita/a/imigrasi-diminta-perkuat-deteksi-dini-tppo-dan-kesiapsiagaan-administrasi-lt685f95922e0d5/?page=2