Oleh: Yola Enggar Wahono, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang
Beberapa waktu lalu, publik kembali dikejutkan oleh kenyataan pahit: puluhan hingga ratusan Warga Negara Indonesia (WNI) menjadi korban eksploitasi di Kamboja. Mereka dijanjikan pekerjaan layak dengan gaji tinggi, namun kenyataannya dipaksa bekerja secara paksa dalam jaringan penipuan daring (online scam) yang dikendalikan oleh sindikat kriminal internasional.
Banyak dari mereka mengalami kekerasan fisik dan psikis, bekerja 18 hingga 20 jam per hari tanpa upah yang layak, bahkan dalam kondisi penyekapan.
Menurut laporan dari Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), modus operandi para pelaku biasanya menggunakan media sosial untuk menarik korban. Mereka menawarkan pekerjaan legal bergaji tinggi, lalu menyelundupkan korban ke luar negeri tanpa dokumen resmi. Setibanya di negara tujuan, para WNI ini dipaksa bekerja dalam situasi yang sangat tidak manusiawi.
Kriminolog Universitas Indonesia, Prof Adrianus Meliala, menegaskan bahwa lemahnya pengawasan negara dalam alur migrasi tenaga kerja menjadi celah empuk bagi pelaku perdagangan orang. “Masalahnya bukan hanya pada pelaku, tapi pada sistem yang membiarkan warga rentan tanpa perlindungan berarti,” ujar Adrianus, dalam sebuah diskusi publik.
Kasus eksploitasi WNI tidak bisa hanya dipandang sebagai isu kriminal biasa atau persoalan ketenagakerjaan semata. Dari sudut pandang Hukum Tata Negara, ini adalah pelanggaran serius terhadap tanggung jawab konstitusional negara terhadap warganya.
UUD 1945 secara tegas mengamanatkan bahwa negara berkewajiban melindungi seluruh warga negara Indonesia, termasuk yang berada di luar negeri. Pasal 28I ayat (4) menyebutkan bahwa perlindungan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Artinya, negara tidak boleh abai terhadap penderitaan warganya, di mana pun mereka berada.
Namun, dalam praktiknya, pola yang terlihat justru bersifat reaktif. Negara baru benar-benar hadir ketika kasus telah menjadi sorotan media. Proses evakuasi dan diplomasi memang dilakukan, tetapi tidak diiringi dengan upaya pencegahan yang sistematis. Banyak WNI yang berangkat ke luar negeri melalui jalur tidak resmi karena kurangnya informasi, lemahnya edukasi hukum, dan longgarnya pengawasan terhadap agen penyalur tenaga kerja ilegal.
Dalam konteks hukum internasional, Konvensi PBB tentang Kejahatan Terorganisir Transnasional (2000) melalui Protokol Palermo juga menegaskan pentingnya peran negara dalam mencegah dan memberantas perdagangan orang, serta melindungi para korbannya. Sayangnya, Indonesia masih menghadapi tantangan dalam menerapkan aturan ini secara konsisten dan efektif, baik dari sisi hukum, koordinasi antar lembaga, maupun aspek diplomatik.
Pakar hubungan internasional, Dr. Hikmahanto Juwana, menekankan bahwa diplomasi perlindungan WNI harus menjadi prioritas utama, khususnya dengan negara-negara rawan seperti Kamboja. “Diplomasi kita harus berorientasi pada perlindungan, bukan sekadar hubungan formal,” tegas Hikmahanto.
Sebagai mahasiswa hukum, saya melihat bahwa negara belum mengaktualisasikan prinsip hukum tata negara secara substantif. Menjadi negara hukum (rechtstaat) tidak cukup dengan memenuhi prosedur administratif atau formalitas konstitusional belaka. Negara harus proaktif dan progresif dalam menjalankan fungsi perlindungan.
Negara memiliki tanggung jawab untuk menjadi pelindung dan pelayan rakyat, termasuk dari ancaman eksploitasi global.
Akhirnya, perlu ditegaskan bahwa konstitusi bukan sekadar teks, melainkan kontrak sosial antara negara dan rakyatnya. Bila negara gagal menjalankan peran sebagai pelindung, maka kontrak sosial itu telah dilanggar.
Kasus eksploitasi WNI di Kamboja menjadi pengingat keras bahwa negara tidak cukup “ada” hanya di atas kertas. Negara harus benar-benar hadir dalam realitas hidup rakyatnya yaitu melindungi, mendidik, dan memastikan bahwa tak satu pun warga negara menjadi korban di tanah asing.
Editor: Amiruddin. MK