Aceh Besar – Hening mendadak menyelimuti sebuah ruangan berukuran sekitar 20×30 meter di Pesantren Darul Aman, Desa Lampuuk, Kecamatan Darussalam, Kabupaten Aceh Besar. Gemuruh dzikir ba’da zuhur yang sebelumnya menggema, perlahan memudar, berganti dengan kesunyian yang khusyuk. Di dalamnya, puluhan orang larut dalam ibadah batiniah yang tidak biasa.
Dengan kepala dan wajah tertutup kain, mukena, atau sarung, mereka duduk terpejam, mengangguk perlahan mengikuti ritme zikir dalam hati. Tak ada suara, hanya detak batin yang terasa dalam. Mereka sedang menjalani tahap tawajjuh, bagian dari ibadah sulok, sebuah ritual tarekat yang mengajak manusia menyelami ruang paling dalam dari hubungan spiritualnya dengan Sang Pencipta.
Sulok adalah bentuk ibadah yang berasal dari Tarekat Naqsabandiyah, salah satu cabang sufisme yang telah ada sejak abad ke-13. Di Aceh, praktik ini dikenal luas berkat peran Syekh Muda Waly Al-Khalidi, ulama besar asal Aceh Selatan yang membawa ajaran ini pulang dari perantauan spiritualnya.
Pesantren Darul Aman telah menjadi salah satu pusat pelaksanaan Sulok rutin, terutama pada bulan Ramadhan, Zulhijjah, dan Rabiul Awal. Ibadah ini dipimpin oleh seorang mursyid, pembimbing spiritual yang berperan penting dalam mengarahkan setiap bacaan, dzikir, hingga praktik keseharian para peserta selama menjalani sulok.
Menariknya, meski identik dengan jamaah lansia, dalam Sulok Ramadhan tahun ini tampak pula beberapa peserta muda. Salah satunya adalah Cut Taqiyyah Alifa, santri tahun ketiga asal Kota Sigli. Usianya baru 18 tahun, dan ini adalah kali pertamanya mengikuti Sulok.
“Saya penasaran saja, banyak yang bilang Sulok itu seru. Tapi ternyata berat juga, terutama untuk bangun dan menjaga konsistensi,” ujarnya sambil tersenyum. Namun di balik tantangan itu, Taqiyyah mengaku merasakan kedamaian yang sulit dijelaskan. “Ada rasa tenang yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata,” tambahnya. Ia bahkan berniat untuk terus mengikuti Sulok di masa mendatang.
Selama Sulok, para peserta menjalani rutinitas yang sangat berbeda dari kehidupan sehari-hari. Dimulai sejak pukul 03.00 dini hari, mereka larut dalam tasbih, dzikir, dan wirid hingga malam tiba, hanya berhenti sejenak untuk menunaikan salat fardhu, berbuka puasa, atau sahur. Aktivitas duniawi benar-benar dikurangi seminimal mungkin.
Abi Iqbal, pimpinan jamaah Sulok di Darul Aman, menjelaskan bahwa setiap peserta harus terlebih dahulu melakukan mandi taubat, shalat taubat, serta berkomitmen mengikuti ajaran Tarekat Naqsabandiyah. Mereka juga harus mematuhi pantangan tertentu, termasuk tidak mengonsumsi makanan dari hewan berdarah.
“Untuk menjaga kekhusyukan dan kendali, konsumsi peserta sepenuhnya ditangani pesantren. Jadi, semua makanan sudah disesuaikan dengan syarat sulok,” ujarnya.
Pesantren Darul Aman mulai menghidupkan kembali tradisi Sulok pascatsunami 2004. Sejak saat itu, ibadah ini menjadi bagian penting dari kehidupan religius pesantren, sekaligus tempat pelarian spiritual bagi mereka yang mencari makna lebih dalam di tengah dunia yang makin bising.
Salah satunya adalah Basyariah, perempuan berusia 65 tahun asal Aceh Selatan. Sejak pertama kali Sulok dilaksanakan di Darul Aman, ia tak pernah absen mengikutinya setiap Ramadhan. Dengan wajah tenang, ia mengungkapkan alasannya terus datang setiap tahun.
“Dari setelah tsunami saya sudah ikut. Ini semua untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kalau kita dekat dengan Allah, insya Allah urusan dunia kita juga dimudahkan,” katanya lirih.
Dalam kesunyian ruangan, di bawah remang lampu pesantren, puluhan jiwa tengah menapaki perjalanan spiritual yang tak terlihat mata. Di antara dzikir yang tak terdengar dan air mata yang tak ditampakkan, Sulok menjadi ruang di mana manusia mencari kembali jati dirinya—sebagai hamba yang rindu pulang kepada Tuhannya.
Editor: Amiruddin. MKReporter: Hulwa Dzakira