Sigli – Di saat air banjir belum sepenuhnya surut di sejumlah wilayah Kabupaten Pidie, warga justru dihadapkan pada persoalan lain yang tak kalah pelik: gas elpiji 3 kilogram menghilang dari pangkalan pada siang hari, namun “muncul” kembali dengan harga melambung di tingkat pengecer.
Bagi sebagian warga, gas subsidi itu bukan sekadar kebutuhan rumah tangga, melainkan penopang dapur umum dan kehidupan sehari-hari di tengah bencana. Namun, kelangkaan dan harga yang melampaui ketentuan membuat beban warga semakin berat.
Situasi inilah yang mendorong Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Pidie, Anwar Sastra Putra, angkat suara. Ia mendesak pemerintah daerah dan aparat penegak hukum (APH) untuk segera menertibkan pangkalan LPG 3 kilogram yang diduga bermain harga dan distribusi.
“Jangan ada pihak yang menari di atas penderitaan rakyat,” kata Anwar, Kamis (18/12/2025).
Dugaan Modus Tengah Malam
Politikus yang akrab disapa Bang Bulek ini menyebutkan adanya indikasi praktik sistematis di lapangan. Berdasarkan laporan warga dan pemantauan langsung, distribusi gas ke pangkalan kerap dilakukan pada tengah malam.
Menurut Anwar, pola tersebut diduga sengaja dilakukan agar luput dari pantauan masyarakat. Gas yang seharusnya dijual langsung kepada warga dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp 18.000 per tabung, justru dialihkan ke penampung atau pengecer dengan harga lebih tinggi.
“Siang hari gas kosong, malam hari keluar diam-diam. Akibatnya, warga terpaksa membeli dengan harga Rp 23.000 sampai Rp 25.000 per tabung,” ujarnya.
Ia menilai kondisi ini sebagai bentuk “kelangkaan semu” yang diciptakan demi keuntungan sepihak, terutama di tengah situasi darurat akibat banjir.
Bantah Alasan Suplai Terbatas
Anwar juga menepis alasan sejumlah pangkalan yang menyalahkan keterbatasan suplai dari Pertamina. Menurutnya, Pertamina telah menyatakan komitmen menjaga distribusi energi, khususnya saat Aceh dilanda musibah.
“Kalau Pertamina sudah berkomitmen, jangan justru rakyat yang dijadikan korban. Jangan cari untung di saat orang lain sedang susah,” kata Anwar.
Ia meminta Disperindagkop dan UKM Pidie tidak ragu menjatuhkan sanksi tegas, termasuk pencabutan izin, bila ditemukan pelanggaran. Selain itu, aparat kepolisian diminta mengusut tuntas jaringan distribusi yang menyebabkan keresahan masyarakat.
Pemerintah Daerah Turun Tangan
Pemerintah Kabupaten Pidie menyatakan sejalan dengan sikap DPRK. Asisten II Setdakab Pidie, Afriadi, menegaskan bahwa perlindungan terhadap masyarakat kecil harus menjadi prioritas.
Berdasarkan hasil pemantauan di lapangan, pihaknya menemukan adanya pangkalan yang menjual LPG 3 kilogram dengan harga Rp 20.000 hingga Rp 23.000 per tabung, jauh di atas HET yang ditetapkan pemerintah daerah sebesar Rp 18.000.
“Kami minta seluruh pangkalan mematuhi harga resmi. Jika masih ada yang menjual di atas HET, siap-siap menanggung konsekuensi hukum dan administratif,” kata Afriadi, Jumat (19/12/2025).
Gandeng Polisi dan Jaksa
Pemkab Pidie, kata Afriadi, telah berkoordinasi dengan kepolisian dan Kejaksaan Negeri yang tergabung dalam tim penertiban. Langkah ini dilakukan agar penindakan tidak berhenti pada peringatan semata, tetapi juga memberikan efek jera.
“Kami ingin memastikan distribusi gas bersubsidi benar-benar sampai ke masyarakat yang berhak, terutama di masa sulit seperti sekarang,” ujarnya.
Di tengah upaya pemulihan pascabanjir, pemerintah daerah dan DPRK berharap distribusi LPG 3 kilogram kembali normal dan transparan. Bagi warga Pidie, ketersediaan gas dengan harga terjangkau bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal keadilan di saat mereka tengah berjuang bangkit dari bencana.
“Kami meminta kepolisian dan APH segera mengambil tindakan terhadap pangkalan yang terbukti melanggar. Jika ada temuan, segera diproses secara hukum,” tegas Afriadi.
Selain persoalan harga, pemerintah daerah juga menaruh perhatian serius pada dugaan keberadaan agen fiktif dalam mata rantai distribusi LPG 3 kilogram. Salah satu yang disoroti adalah PT Kuala Tari, yang disebut-sebut beroperasi di sejumlah wilayah, termasuk Kecamatan Padang Tiji.
Menurut Afriadi, laporan terkait agen tersebut telah ditindaklanjuti. Tim dari pemerintah kabupaten disebut telah turun langsung ke lapangan pada pekan lalu untuk melakukan verifikasi administrasi maupun faktual.
“Ini sedang kami telusuri. Jika benar ada agen yang tidak sesuai prosedur atau fiktif, tentu akan kami rekomendasikan untuk ditindak sesuai aturan,” ujarnya.
Dorong Sanksi Tegas dari Pertamina
Lebih jauh, Afriadi meminta PT Pertamina (Persero) tidak bersikap pasif terhadap penyimpangan yang dilakukan mitra penyalurnya. Ia menilai sanksi administratif dari Pertamina menjadi kunci untuk memutus praktik permainan harga dan distribusi.
“Kami minta Pertamina tidak ragu menjatuhkan sanksi tegas, termasuk blacklist terhadap agen maupun pangkalan yang terbukti menjual di atas HET atau melakukan penyimpangan distribusi,” kata Afriadi.
Menurutnya, tanpa ketegasan dari pihak pemasok utama, upaya penertiban di daerah akan selalu berhadapan dengan praktik serupa yang berulang.
Peran Publik dan Media
Pemerintah Kabupaten Pidie juga mengajak masyarakat dan insan pers untuk ikut mengawasi distribusi LPG bersubsidi. Afriadi meminta setiap laporan dilengkapi dengan data yang jelas, seperti nama pangkalan, agen penyalur, serta lokasi kejadian.
“Partisipasi publik sangat penting. Dengan laporan yang lengkap, petugas bisa lebih cepat bergerak dan penindakan bisa dilakukan secara tepat sasaran,” ujarnya.
Di tengah kondisi pascabencana, pemerintah berharap distribusi LPG 3 kilogram kembali berjalan sesuai aturan. Gas bersubsidi, kata Afriadi, seharusnya menjadi penopang bagi warga yang terdampak musibah—bukan justru menjadi komoditas yang dipermainkan demi keuntungan segelintir pihak.
Editor: Amiruddin. MKReporter: Amir Sagita










