Oleh : Wafda Al Mashri
Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB
Isu pengungsi Rohingya telah menjadi salah satu masalah kemanusiaan yang mendesak di Asia Tenggara. Nasib memilukan yang dialami oleh etnis Rohingya disebabkan oleh genosida sistematis yang dilakukan oleh Pemerintah Myanmar yang dimulai sejak tahun 1970-an. Puncak kekerasan pada kelompok Rohingya terjadi pada tahun 2017, dan sejak itu, ribuan orang Rohingya melarikan diri dari Myanmar akibat kekerasan dan penindasan yang sistematis. Mereka mencari perlindungan di negara-negara tetangga, termasuk Indonesia. Namun, tanggapan negatif dari sebagian masyarakat Indonesia terhadap pengungsi ini menimbulkan pertanyaan penting tentang solidaritas kemanusiaan dan sikap kita terhadap sesama manusia yang sedang menderita.
Situasi Pengungsi Rohingya di Indonesia
Situasi pengungsi Rohingya di Indonesia semakin memprihatinkan. Banyak dari mereka yang terdampar di perairan Indonesia, terutama di Aceh, setelah perjalanan panjang dan berbahaya. Nelayan Aceh seringkali membantu para pengungsi Rohingya karena adanya adat laut yang disepakati bersama dengan pimpinan adat yang disebut sebagai “Panglima Laot”. Hal ini mengikat para nelayan untuk menolong siapapun yang kesusahan di laut. Hukum adat laut ini sudah lama dijalani secara turun temurun, sejak zaman Kerajaan Samudra Pasai, 16 abad yang lalu.
Di tengah polemik ini, ada seorang anggota DPR RI yang mewacanakan bahwa para pengungsi harus melewati proses pemeriksaan status oleh pihak-pihak berwenang. Namun, wacana tersebut tidak seharusnya dijalani karena bertolak belakang dengan prinsip hak asasi manusia dan juga aturan yang dibuat oleh presiden ke-7 Indonesia, Joko Widodo, yang memberi perlindungan terhadap pengungsi atau pencari suaka.
Gelombang kedatangan kelompok Rohingya ke Indonesia diwarnai oleh sentimen negatif netizen Indonesia. Tanggapan negatif ini sering kali muncul dari ketidakpahaman tentang situasi yang dihadapi oleh pengungsi Rohingya. Banyak orang tidak menyadari bahwa mereka adalah korban kekerasan dan penindasan (bahkan ada beberapa yang merupakan korban penyelundupan manusia), bukan pelaku kejahatan. Stigma ini diperparah oleh berita-berita negatif yang sering kali menyoroti masalah keamanan dan potensi konflik sosial. Hal ini menciptakan persepsi bahwa pengungsi adalah ancaman, bukan individu yang membutuhkan bantuan.
Narasi Kebencian dan Disinformasi
Narasi kebencian dan disinformasi memainkan peran besar dalam membentuk persepsi negatif terhadap pengungsi Rohingya di Indonesia. Misalnya, hoaks yang menyebutkan bahwa para pengungsi datang bersama Inggris untuk menjajah Myanmar dan ada gelombang pengungsi Rohingya yang mendatangi Indonesia untuk tujuan yang sama, yakni menjajah. Berita-berita semacam ini tidak hanya menyesatkan tetapi juga memperburuk stigma terhadap pengungsi.
Penting untuk membangun empati terhadap pengungsi Rohingya dengan memahami latar belakang mereka. Sejarah menunjukkan bahwa etnis Rohingya merupakan etnis asli Myanmar yang sudah tidak lagi dianggap oleh Myanmar sebagai bagian dari warganya. Hal ini dinyatakan dalam Burma Citizenship Law 1982 yang menyatakan bahwa etnis Rohingya tidak termasuk ke dalam 135 etnis yang diakui oleh Myanmar, mengakibatkan orang-orang Rohingnya ini menjadi tidak memiliki kewarganegaraan (stateless). Sementara itu, etnis Rohingya secara turun temurun sudah menempati Negara Bagian Rakhine di Myanmar.
Tantangan Kemanusiaan
Tantangan kemanusiaan bagi pengungsi Rohingya di Indonesia sangat kompleks. Mereka sering kali tinggal dalam kondisi tidak layak dan kekurangan akses terhadap pelayanan kesehatan dan pendidikan. Banyak dari mereka mengalami trauma akibat kekerasan yang mereka saksikan atau alami selama konflik di Myanmar. Selain itu, mereka juga menghadapi risiko eksploitasi dan perdagangan manusia karena status mereka sebagai kelompok tanpa kewarganegaraan.
Kehadiran pengungsi ini juga memicu berbagai pandangan pro dan kontra dalam masyarakat Indonesia. Di satu sisi, ada pendukung penanganan pengungsi Rohingya berpendapat bahwa sebagai negara berpenduduk besar dan berpendapatan menengah, Indonesia memiliki tanggung jawab moral untuk membantu mereka yang mengalami kekerasan dan diskriminasi di negara asalnya.
Di sisi lain, ada pula suara-suara skeptis yang mengkhawatirkan dampak sosial ekonomi dari kedatangan para pengungsi ini. Mereka berpendapat bahwa kehadiran pengungsi dapat membebani sumber daya negara dan meningkatkan potensi konflik sosial.
Solusi untuk Meningkatkan Kesadaran Rakyat
Sebagai langkah solutif, perlu adanya kampanye kesadaran publik yang menjelaskan situasi pengungsi Rohingya secara komprehensif. Pendidikan tentang hak asasi manusia dan pentingnya solidaritas kemanusiaan dapat membantu mengubah pandangan masyarakat. Selain itu, pemerintah dan organisasi non-pemerintah dapat bekerja sama untuk menyediakan program integrasi sosial bagi pengungsi sehingga mereka dapat berkontribusi positif kepada masyarakat.
Program-program edukasi dapat mencakup informasi tentang sejarah konflik di Myanmar, kondisi kehidupan para pengungsi saat ini, serta dampak positif dari keberadaan mereka di masyarakat lokal jika diberikan kesempatan untuk berkontribusi. Melalui dialog terbuka antara masyarakat lokal dan komunitas pengungsi, kita dapat membangun saling pengertian dan mengurangi stigma negatif.
Isu pengungsi Rohingya merupakan tantangan kemanusiaan yang memerlukan perhatian serius dari semua pihak. Tanggapan negatif masyarakat Indonesia terhadap pengungsi harus diubah menjadi sikap empati dan dukungan. Dengan memahami latar belakang mereka dan memberikan informasi yang tepat, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan mendukung bagi semua orang, termasuk pengungsi Rohingya.
Sebagai bangsa yang dikenal dengan nilai-nilai kemanusiaannya, sudah saatnya kita menunjukkan solidaritas kepada sesama manusia tanpa memandang latar belakang mereka. Masyarakat harus diajak untuk melihat para pengungsi bukan sebagai ancaman tetapi sebagai individu-individu dengan cerita hidup penuh perjuangan. Dengan demikian, kita dapat bersama-sama membangun masa depan yang lebih baik bagi semua pihak terlibat—baik warga lokal maupun para pencari suaka seperti etnis Rohingya—dalam semangat kemanusiaan dan toleransi.