Jakarta – Universitas Borobudur menggelar sidang terbuka promosi doktor di bidang Ilmu Hukum, Sabtu, 13 September 2025, di Gedung D, Kampus A Universitas Borobudur, Jakarta Timur. Kali ini, sidang terbuka promosi doktor Ilmu Hukum menjadi momen penting bagi Mayjen TNI Dr. Endro Satoto, S.I.P., S.H.,M.M., M.Han . Ia dinyatakan lulus secara cumlaude.
Endro sapaan akrabnya ini, merupakan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum dari angkatan 25, yang berhasil meraih gelar Doktor setelah mempertahankan disertasinya yang berjudul “Kontruksi Norma Hukum dalam Upaya Perlindungan Korban Terhadap Kejahatan Siber Global di Indonesia yang Berkemanfaatan”.
Ia mengemukakan penelitian yang ia buat berangkat dari urgensi perlindungan hukum terhadap korban kejahatan siber global yang semakin marak dan kompleks di Indonesia.
“Pertama, perlu dianalisis mengapa kejahatan siber global dapat terjadi di Indonesia, mengingat kemajuan teknologi yang sangat pesat belum diimbangi dengan sistem hukum yang adaptif. Kedua, perlu dikaji bagaimana penegakan hukum atas tindak pidana siber yang bersifat lintas batas tersebut, mengingat adanya kelemahan dari sisi regulasi, koordinasi antar lembaga, dan keterbatasan sumber daya,” kata Endro di Jakarta, Sabtu (13/9/2025).
Yang ketiga, lanjut dia, penting untuk dirumuskan bagaimana seharusnya model perlindungan hukum yang ideal bagi korban kejahatan siber di Indonesia, agar mampu memberikan kepastian, keadilan, dan
kemanfaatan hukum secara konkret.
“Dari ketiga rumusan tersebut menjadi fokus utama untuk membedah kesenjangan antara harapan normatif hukum (das sollen) dengan realitas implementatif di lapangan (das sein) dalam konteks pertahanan keamanan digital nasional,” tegas Endro.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa tujuan dari penelitiannya adalah untuk mengkaji secara mendalam dan
menemukan faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan siber global di
Indonesia, yang tidak hanya bersifat domestik namun juga lintas negara, serta dipengaruhi oleh kemajuan teknologi digital yang belum diimbangi dengan kesiapan hukum nasional.
Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk
mengevaluasi sejauh mana penegakan hukum telah dilakukan terhadap
kejahatan siber global tersebut, termasuk identifikasi hambatan dalam aspek regulasi, koordinasi kelembagaan, dan kapabilitas sumber daya.
Selanjutnya, penelitian ini juga bertujuan untuk menganalisis dan merumuskan model perlindungan hukum yang ideal, yang tidak hanya mampu menjawab tantangan kejahatan siber secara preventif dan represif, tetapi juga memastikan pemenuhan
hak-hak korban melalui pendekatan hukum yang adaptif, integratif, dan
berorientasi pada kemanfaatan.
Untuk itu, hasil dari penelitiannya ini yaitu terjadinya kejahatan siber global di Indonesia disebabkan karena teknologi dan informatika mengalami kemajuan yang sangat maju. Kemajuan teknologi dan informatika tersebut tidak mengenal yurisdiksi, batas ruang, tempat negara, bahkan benua dan bahkan kejahatan siber terjadi bersifat nasional, transnasional dan internasional.
“Peraturan perundang-undangan yang ada dalam menangani tindak pidana siber masih menghadapi berbagai tantangan. Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UndangUndang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi dan
Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2021 Tentang Badan Siber Dan
Sandi Negara menjadi dasar hukum untuk penindakan kejahatan siber,
namun belum optimal penindakannya,” paparnya.
Hal ini disebabkan karena norma
tersebut belum cukup jelas dan spesifik mengatur kewenangan lembaga terutama Badan Siber dan Sandi Negara dalam penindakan kejahatan siber berakibat terjadinya kekosongan hukum untuk melakukan penindakan. Kemudian, Penegakan hukum terhadap atas terjadinya kejahatan siber global di
Indonesia belum optimal. Hal ini dihadapkan pada sisi sumber daya,
teknologi, maupun regulasi. Keterbatasan sumber daya manusia yang terlatih dan berkompeten dibidang teknologi tinggi menjadi salah satu
masalah utama, kurang kemampuan dan pemahaman mendalam tentang
teknologi dalam kejahatan siber. Selain itu, ketidaksesuaian antara regulasi yang ada dengan perkembangan teknologi terkini menambah ketidakmampuan hukum dalam menangani kejahatan siber secara efektif.
“Penegakan hukum menjadi lamban, kurang efisien, dan seringkali tidak dapat memberikan keadilan yang cepat bagi korban kejahatan siber. Hukum pidana, perdata dan administrasi seharusnya yang lebih ideal dan adaptif, yang dapat merespon dengan cepat
terhadap perubahan teknologi atas terjadinya ancaman siber. Begitu juga
masih terjadinya ego sektoral pada setiap lembaga yang merasa memiliki kewenangan dan hal ini ditandai belum adanya lembaga yang full power untuk mengkoordinir kewanangan penindakan ancaman siber,” urainya.
Lalu, lanjut dia, perlindungan hukum atas terjadinya kejahatan siber global di Indonesia belum optimal terlaksana. Hal ini disebabkan karena masih lemahnya tindakan preventif dan represif yang dilakukan oleh lembaga yang seharusnya memiliki kewenangan. Badan Siber dan Sandi Negara
sebagai lembaga yang seharusnya melakukan tindakan preventif dan represif namun dalam kedudukan hukumnya tidak memiliki legal
standing untuk melakukan fungsi tersebut karena BSSN hanya sebagai
lembaga negatif intelejen dalam bidang siber sehingga dengan kedudukan tersebut tidak dapat bertindak secara langsung apabila menemukan indikasi adanya ancaman kejahatan siber. BSSN untuk melakukan tindakan preventif dan represif atas ancaman siber tersebut
dibutuhkan adanya kewenangan berdasarkan undang-undang dan bukan
peraturan presiden.
Dengan demikian ia menilai perlu adanya perubahan peraturan presiden Nomor 28 Tahun 2021 Tentang Badan Siber Dan Sandi Negara menjadi undang-undang. Dalam
Undang-Undang maka keberadaan BSSN sebagai lembaga yang
memiliki kewenangan secara mutlak untuk melakukan penindakan atas
terjadinya serangan siber di Indonesia.
“BSSN selama ini seharusnya
sebagai lembaga yang bertanggungjawab atas terjadinya kejahatan siber tidak dapat melakukan kewenangan tersebut disebabkan karena belum adanya mandat yang diberikan kepada lembaga tersebut,” ujar Endro.
Selain itu juga perlu adanya penetapan norma dalam undang-undang terkait dengan BSSN yang mengatur tentang hukuman pidana, perdata dan adminsitrasi atas terjadinya serangan siber dengan menekankan hukuman seberat-beratnya sehingga akan memberi efek jerah bagi pelaku sehingga korban akan mendapatkan perlindungan.
“Hukuman perdata perlu diatur tentang hak-hak perdatanya bagi korban dengan
ganti rugi atau sebutan lainnya, peraturan juga perlu mengatur dengan
lebih detail mengenai hak-hak korban dan mekanisme pemulihan pascakejahatan siber, termasuk proses ganti rugi yang adil dan cepat, dari sisi
Administrasinya perlu adanya hukuman berupa administrasi kalau
perseorangan melakukan serangan siber maka patut hukuman
administrasinya dan bagi pelaku koorporasi maka seluruh izin dan
perizinanya dicabut dan dinyatakan perusahaan tersebut tidak dapat
dipergunakan lagi,” tutur Endro.
Menurutnya, perlu adanya norma hukum yang mengatur tentang penguatan kewenangan untuk kerjasama internasional antar lembaga untuk melakukan penindakan atas terjadinya kejahatan siber global yang
bersifat preventif dan represif. lBSSN dengan kedudukan hukumnya
diatur berdasarkan Perpres maka dengan penguatan kelembagaan
tersebut maka ada keleluasaan BSSN untuk bergerak cepat dan tepat
untuk melakukan penindakan.
“Secara faktual tidak ada lembaga yang
bertanggungjawab atas kejahatan siber dan sekalipun Badan Siber dan Sandi Negara ada tapi lembaga tersebut tidak ada kewenangan untuk melakukan penindakan,” tandasnya.
Mayjen TNI Endro lulus di bawah bimbingan dari Prof. Dr. Faisal Santiago, S.H., M.M. selaku Promotor, dan Dr. Sulhan, S.Pd., S.H., M.Si, M.Kn. selaku Ko-Promotor.
Dan yang bertindak sebagai dewan penguji sidang doktor diantara : Prof. Ir. H. Bambang Bernanthos, M.Sc yang merupakan Rektor Universitas Borobudur. Kemudian, Prof. Dr. Faisal Santiago, S.H.,M.M Direktur Program Pascasarjana Universitas Borobudur, Dr. Sulhan, S.Pd., S.H., M.Si, M.Kn. selaku Ko-Promotor yang juga sebagai anggota penguji, Prof. Dr. Ade Saptomo S.H, M.Si, Dr. H. Bambang Soesatyo, S.E., S.H., MBA, dan sebagai Penguji Luar Institusi Prof. Dr. Ibnu Sina Chandranegara, S.H., M.H. dari Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Editor: Poppy RakhmawatyReporter: Poppy Rakhmawaty