Home / Hukrim

Kamis, 30 Oktober 2025 - 10:39 WIB

Negeri yang Ditambang dengan Surat

mm Tiara Ayu Juneva

Mahmud Padang - Ketua DPW Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Anti Korupsi (Alamp Aksi) Provinsi Aceh menulis opini ‘Negeri yang Ditambang dengan Surat’. Foto: Dok. Pribadi/NOA.co.id

Mahmud Padang - Ketua DPW Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Anti Korupsi (Alamp Aksi) Provinsi Aceh menulis opini ‘Negeri yang Ditambang dengan Surat’. Foto: Dok. Pribadi/NOA.co.id

Penulis : Mahmud Padang – Ketua DPW Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Anti Korupsi (Alamp Aksi) Provinsi Aceh

Di Aceh hari ini, tambang tak lagi digali dengan cangkul dan alat berat, melainkan dengan pena dan peta. Surat izin yang seharusnya menjadi instrumen pembangunan kini berubah menjadi alat transaksi rente, dan yang menambang bukan lagi pekerja di lapangan, melainkan segelintir “agen” yang lihai membaca celah hukum. Mereka dikenal dengan sebutan halus yakni pemegang IUP, investor eksplorasi, atau pengembang sumber daya alam. Namun di balik semua istilah itu, tersembunyi praktik lama yang kini tampil dengan wajah baru yakni jual beli izin atas nama investasi.

Di berbagai kabupaten di Aceh, khususnya wilayah barat selatan, fenomena izin usaha peubloe (IUP) Nanggroe yang semestinya adala Izin Usaha Pertambangan justru dijadikan komoditas jual beli, dan saat ini semakin marak. Modusnya terencana dan rapi. Para agen terlebih dahulu menandai wilayah potensial tambang, lereng berbatu yang kaya mineral, lembah sunyi yang diyakini menyimpan emas, atau hutan yang telah lama kehilangan pengawasan. Dari situ mereka menyusun peta, mendirikan perusahaan kertas, dan mengurus rekomendasi IUP eksplorasi, lengkap dengan PPKPR. Begitu izin keluar, bukan kegiatan eksplorasi yang berjalan, melainkan transaksi di meja gelap, dimana surat dijual, saham dialihkan, nama direksi diganti.

Praktik ini menjamur karena legalitasnya tampak sah, padahal esensinya adalah pelanggaran terhadap prinsip penguasaan negara atas sumber daya alam sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945. Data Pemerintah Aceh menunjukkan hingga pertengahan 2024 terdapat 64 IUP aktif, namun hanya sebagian kecil yang benar-benar beroperasi di lapangan. Lembaga IDeAS bahkan mencatat ada 13 IUP baru di Aceh dengan luas lebih dari 24.000 hektare, sebagian besar belum memiliki aktivitas eksplorasi nyata. Izin-izin itu hidup di atas kertas, sementara tanah di bawahnya sebenarnya dikuasai rakyat dan negara.

Baca Juga :  Transaksi Sabu di Depan WC Umum, Dua Pemuda di Pidie Ditangkap Polisi

Fenomena ini menunjukkan betapa izin telah berubah fungsi menjadi aset spekulatif. Surat izin kini bisa digadaikan ke bank, diperdagangkan antarperusahaan, atau dijadikan alat tawar politik. Dalam logika kapital baru, tanah tidak lagi bernilai karena kandungan mineralnya, tetapi karena selembar dokumen yang menyertainya. Aceh, dalam bahasa sinis, telah memasuki era ekonomi kertas, di mana yang ditambang bukan emas atau batu bara, melainkan tanda tangan pejabat.

Korupsi yang Tak Lagi Kasar

Korupsi sumber daya alam di Aceh kini bergerak tanpa suara. Tak ada lagi amplop tebal di bawah meja, tapi ada skema terstruktur di balik meja birokrasi. Para “invektol (istilah satire investor pura-pura) mengajukan izin eksplorasi dengan janji investasi besar. Setelah rekomendasi keluar, izin dijual ke pihak lain dengan harga miliaran rupiah. Untuk memperpanjang masa berlaku, laporan eksplorasi dibuat fiktif. Dalam beberapa kasus, saham perusahaan dialihkan kepada pemodal bayangan untuk menyamarkan asal-usul izin.

Skema ini telah menciptakan ekonomi bayangan di sektor tambang Aceh. Menurut laporan organisasi masyarakat sipil, potensi kerugian negara akibat permainan izin dan tambang ilegal di Aceh mencapai ratusan miliar rupiah per tahun. Namun angka itu hanyalah puncak gunung es dari praktik yang jauh lebih kompleks berupa penggelapan pajak, gratifikasi, dan pencucian uang lewat surat fiktif.

Yang lebih mencemaskan, praktik ini membentuk jaringan politik tambang. Ketika seorang kepala daerah menolak memberikan rekomendasi, ia akan dihadapkan pada tekanan berlapis mulai dari lobi, ancaman hukum, bahkan intervensi politik. Mereka yang tak tunduk dicap anti investasi, sementara mereka yang tunduk justru dianggap “visioner”. Dalam iklim semacam ini, otonomi daerah yang diperjuangkan dengan darah pascakonflik menjadi kehilangan maknanya, karena kedaulatan atas sumber daya alam perlahan direbut oleh segelintir orang yang menjual negeri atas nama izin.

Ketika Investasi Menjadi Dalih

Baca Juga :  Peringatan Nuzulul Qur'an 1446 H, Pangdam IM : Mari Jadikan Al-Qur'an sebagai pedoman dalam kehidupan

Padahal regulasi nasional jelas. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta PP Nomor 96 Tahun 2021 menegaskan bahwa pengalihan IUP tanpa persetujuan pemerintah adalah pelanggaran hukum. Namun lemahnya pengawasan membuat aturan itu mudah dilanggar. Pengawasan pertambangan yang dulunya menjadi kewenangan kabupaten kini tersentralisasi di provinsi, bahkan sebagian di pemerintah pusat. Akibatnya, daerah yang paling terdampak justru kehilangan kendali atas izinnya sendiri.

Dalam konteks Aceh, ini berlapis ironi. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh seharusnya memberi ruang lebih besar bagi daerah untuk mengatur kekayaan alamnya, tetapi justru menjadi celah bagi oknum yang mengatasnamakan “investor” untuk bermain di ruang abu-abu antara otonomi dan sentralisasi. Negeri yang seharusnya menambang untuk rakyat kini ditambang oleh perantara.

Kita menyaksikan bagaimana “investasi” kerap dijadikan dalih untuk menutupi praktik jual beli surat. Investor yang datang bukan untuk membangun, melainkan untuk membeli izin, mengganti nama direksi, dan mengalihkan saham ke perusahaan cangkang. Dalam bahasa ekonomi politik, ini bukan investasi, tapi arbitrase hukum dengan memanfaatkan celah perizinan untuk meraup untung tanpa menghasilkan nilai tambah bagi daerah.

Tanoh Nyan Amanah

Filosofi Aceh mengajarkan bahwa “tanoh nyan amanah, tanoh nyan darah.” Tanah bukan sekadar aset ekonomi, melainkan warisan spiritual dan sosial. Ia tak boleh dijual, apalagi dengan surat palsu yang hanya menguntungkan segelintir orang. Dalam pandangan hukum Islam yang menjadi ruh Qanun Aceh, penguasaan tanah publik harus menjamin kemaslahatan bersama, bukan memperkaya individu. Maka, menjual izin atas tanah rakyat sejatinya adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah.

Aceh pernah berani mengambil langkah. Pada 2019, Pemerintah Aceh mencabut 98 IUP bermasalah, menyelamatkan lebih dari 549 ribu hektare lahan publik dari cengkeraman mafia tambang. Namun langkah itu kini tampak surut. Tekanan politik dan kepentingan ekonomi membuat banyak kepala daerah memilih diam. Padahal, dalam konteks moral dan konstitusi, diam terhadap perampasan sumber daya adalah bentuk lain dari kejahatan.

Baca Juga :  Tim Satgas PKH Lakukan Penertiban Perusahaan Tambang Ilegal

Dalam sistem hukum, kepala daerah memiliki hak dan kewajiban untuk menolak rekomendasi IUP jika dinilai tak sesuai dengan tata ruang, lingkungan, atau kepentingan publik. Ia bukan bawahan investor, tetapi penjaga kedaulatan daerah. Karena itu, ketika seorang kepala daerah menolak memperpanjang izin atau membatalkan rekomendasi, langkah itu bukanlah pelanggaran, melainkan bentuk keteguhan moral dan konstitusional.

Negara dan daerah tak boleh tunduk kepada mafia izin. KPK harus melihat bahwa korupsi SDA bukan perkara administrasi, melainkan kejahatan ekonomi terorganisir yang merampas masa depan rakyat. Penyelidikan harus menelusuri bukan hanya uang, tetapi juga surat, peta, dan jaringan politik di balik setiap tanda tangan.

Jika KPK berani menggali lebih dalam, niscaya ditemukan bahwa sebagian besar “investasi tambang” di Aceh tak lebih dari perdagangan kertas. Surat izin berpindah tangan lebih cepat daripada alat berat turun ke lapangan. Dan selama praktik ini dibiarkan, rakyat Aceh akan terus menjadi penonton di atas tanah yang seharusnya mereka miliki.

Negeri yang Dijual dengan Tanda Tangan

Dalam hikayat lama, Aceh dikenal sebagai negeri yang dijaga oleh tanoh raja dan darah ulama. Kini, penjaga itu nyaris hilang. Negeri ini sedang dijual dengan cara paling halus lewat dokumen yang dicetak di kertas A4, ditandatangani dengan pena emas, dan diserahkan kepada mereka yang tak pernah menjejak lumpur tambang.

Jika negara terus membiarkan para agen izin menambang dengan surat, maka tak lama lagi rakyat hanya akan memiliki sejarah tanpa tanah. Dan ketika itu tiba, barangkali generasi berikut akan bertanya- siapa yang menjual Aceh? Jawabannya mungkin sederhana bukan penjajah, tapi kita sendiri yang menjual negeri dengan kertas dan tanda tangan.

Editor: RedaksiReporter: Redaksi

Share :

Baca Juga

Hukrim

Kasat Narkoba ditangkap Mabes Polri

Hukrim

Hendak Menyelesaikan Persoalan Keluarga, Sang Paman Diringkus Polisi Karena Tikam Sepupu

Hukrim

Pemerintah Dorong Pembinaan dan Penanganan Ormas Terafiliasi Premanisme

Hukrim

Hendak Tawuran, Personel Polsek Syiah Kuala Amankan Para Pelaku

Hukrim

Polda Aceh akan Segera Tuntaskan Kasus RS Regional Aceh Tengah

Hukrim

Sekretaris Daerah Kabupaten Aceh Barat Menandatangani Komitmen Pemberantasan Korupsi di Gedung KPK RI

Hukrim

Tantangan KUHP Nasional Mengubah Paradigma Hukum Pidana

Hukrim

Satresnarkoba Polresta Banda Aceh Amankan 22 Tersangka