Banda Aceh – Ketua Forum Mahasiswa Aceh Singkil (Formas), Ahmad Fadil Lauser, menuding Forkopimda Aceh Singkil telah berubah menjadi boneka korporasi dalam konflik Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan sawit.
Bagi mahasiswa, kata Fadil, hal ini bukan lagi sekadar soal teknis, tetapi bukti nyata keberpihakan penguasa lokal kepada korporasi ketimbang rakyat.
“Janji rapat koordinasi dengan perusahaan pemegang HGU yang semestinya digelar pada September lalu, hingga kini tak kunjung terlaksana,” kata Fadil dalam pernyataan resminya kepada Kantor Berita NOA.co.id, Kamis, 2 Oktober 2025.
Dia menegaskan, HGU di Aceh Singkil hari ini bukan lagi instrumen hukum, melainkan senjata untuk merampas ruang hidup rakyat.
“Rakyat kecil dikepung di tanah sendiri, sementara Forkopimda Aceh Singkil sibuk bersembunyi di balik rapat-rapat tertutup. Ini bukan kelalaian, ini adalah pengkhianatan terang-terangan,” tegasnya.
Menurutnya, Forkopimda Aceh Singkil telah gagal menjalankan mandat konstitusi. Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Namun, praktik di lapangan justru sebaliknya, korporasi sawit dibiarkan menguasai ribuan hektare lahan, sementara masyarakat hanya diberi janji palsu.
Selain itu, tambahnya, Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 dan Permen ATR/BPN Nomor 7 Tahun 2017 secara jelas mengatur kewajiban pemegang HGU untuk memenuhi aspek sosial, termasuk penyediaan minimal 20 persen lahan plasma bagi masyarakat sekitar. Fakta di Aceh Singkil, kewajiban ini diabaikan dan Forkopimda memilih diam.
“Ini bukti Forkopimda telah menjadi komprador tangan lokal yang bekerja untuk kepentingan kapital global. Ketika rakyat menuntut haknya, aparat dikerahkan untuk menjaga pagar perusahaan. Ketika perusahaan melanggar hukum, Forkopimda sibuk pura-pura lupa,” tegas Fadil.
Apa yang terjadi hari ini, kata Fadil, adalah wajah asli kapitalisme di daerah pinggiran: tanah berubah menjadi komoditas, rakyat dipaksa menyingkir, dan negara bersekongkol menjaga kepentingan modal.
“Kalau Forkopimda masih bermental boneka, maka rakyatlah yang akan memutus benangnya. Tanah bukan milik korporasi, tanah adalah hak hidup rakyat Aceh Singkil,” kata Fadil.
Editor: Amiruddin. MK