Home / Hukrim

Kamis, 30 Oktober 2025 - 10:49 WIB

Menanti KPK Membasmi Agen Izin Peubloe (IUP) Nanggroe

mm Tiara Ayu Juneva

Mahmud Padang - Ketua DPW Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Anti Korupsi (Alamp Aksi) Provinsi Aceh menulis opini ‘Menanti KPK Membasmi Agen Izin Peubloe (IUP) Nanggroe’. Foto: Dok. Pribadi/NOA.co.id

Mahmud Padang - Ketua DPW Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Anti Korupsi (Alamp Aksi) Provinsi Aceh menulis opini ‘Menanti KPK Membasmi Agen Izin Peubloe (IUP) Nanggroe’. Foto: Dok. Pribadi/NOA.co.id

Penulis : Mahmud Padang – Ketua DPW Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Anti Korupsi (Alamp Aksi) Provinsi Aceh

Dalam hikayat Aceh lama, tanah disebut sebagai tanoh indatu, yakni warisan yang tak boleh diperjualbelikan karena di dalamnya tersimpan darah dan doa para leluhur. Namun di era kini, Aceh seperti terjebak dalam babak baru kolonialisme, bukan oleh bangsa asing bersenjata, melainkan oleh para agen yang bersenjata surat, peta, dan rekomendasi izin. Mereka bukan lagi sekadar perantara, melainkan agen Peubloe singkatan sinis dari “Izin Untuk Peubloe (IUP) Nanggroe” yang kini menjadi simbol praktik jual beli kekuasaan atas tanah negara dan rakyat.

Di banyak kabupaten, terutama wilayah Barat Selatan Aceh, praktik ini tumbuh subur di antara lorong-lorong birokrasi. Polanya selalu sama. Mula-mula, sekelompok orang yang mengendus potensi emas atau sumber daya mineral lain di suatu kawasan akan membuat peta dan mengklaim area tersebut sebagai wilayah kerja perusahaan mereka. Padahal, lahan itu milik negara atau bahkan masyarakat adat. Setelah itu, mereka mengurus PPKPR dan rekomendasi IUP eksplorasi ke kepala daerah.

Yang terjadi bukan untuk menambang, bukan pula untuk meneliti kandungan mineral sesuai kaidah eksplorasi, melainkan untuk menjadikan dokumen tersebut sebagai “surat berharga.” Begitu rekomendasi keluar, surat itu dijual, baik dengan skema take over saham maupun jual putus kepada pemodal besar di Jakarta, Medan, atau bahkan luar negeri. Harga jualnya fantastis, sementara rakyat di tanah itu tetap miskin, sungai tetap keruh, dan hutan tetap gundul.

Baca Juga :  Penyidik Polda Aceh Sita Rumah Karyawan BPRS Gayo, Diduga Terkait Pembiayaan Fiktif Rp48 Miliar

Fenomena ini bukan hal baru. Sejak 2015, KPK pernah mengidentifikasi lebih dari 3.000 IUP bermasalah di seluruh Indonesia. Di Aceh, praktik semacam ini sering kali menumpang pada semangat otonomi khusus dan jargon investasi daerah. Padahal, yang terjadi bukan investasi, melainkan transaksi surat, jual beli izin atas lahan rakyat dan negara.

Modusnya makin canggih, setelah izin dan peta keluar, perusahaan dummy dibentuk, lalu dijual ke investor besar. Nama-nama di akta perusahaan berganti, tetapi jejak permainan uang tetap mengalir pada orang-orang yang pertama kali “mengurus” izin itu.

Yang lebih berbahaya, ketika kepala daerah menolak ikut permainan ini, tekanan datang bertubi-tubi. Ada yang dilobi secara halus dengan janji investasi besar, ada yang diiming-imingi dana CSR, ada pula yang diancam lewat jalur politik dan bahkan hukum. Mafia izin ini lihai memainkan berbagai pintu kekuasaan. Dari para pemain politik, dari oknum lembaga hukum hingga pejabat teknis di daerah. Kepala daerah yang teguh sering kali digiring dalam pusaran kriminalisasi, sementara yang goyah menjadi sekutu senyap dalam persekongkolan korupsi sumber daya alam.

Korupsi SDA: Surat Lebih Mahal dari Tanah

Modus korupsi sumber daya alam (SDA) di Aceh tidak lagi sekadar penyalahgunaan dana proyek tambang, melainkan korupsi struktural yang dimulai dari hulu dengan manipulasi izin dan peta wilayah tambang. Di sinilah letak kejahatan utamanya. Surat izin yang semestinya menjadi alat kendali negara, justru berubah menjadi komoditas paling laku. Surat lebih mahal dari tanahnya, izin lebih berharga dari hasil buminya.

Baca Juga :  Bongkar Dugaan Pembiayaan Fiktif Rp48 Miliar, Ditreskrimsus Polda Aceh Geledah Kantor BPRS Gayo Aceh Tengah

Dalam kajian KPK tahun 2022 tentang Corruption Risk Assessment sektor SDA, salah satu titik rawan korupsi terletak pada tahap perizinan dan peralihan kepemilikan saham. Di Aceh, indikasi ini sangat terasa. Banyak perusahaan pemegang IUP eksplorasi yang tidak pernah melakukan kegiatan apapun di lapangan, namun berpindah tangan berkali-kali. Izin menjadi instrumen spekulasi seperti surat berharga di bursa gelap pertambangan.

Sementara itu, rakyat di sekitar lokasi tambang justru kehilangan hak kelola. Mereka tidak pernah diajak bicara, tidak mendapat kompensasi, bahkan tidak tahu tanah mereka sudah “dijual” lewat rekomendasi. Seolah ada dua peta yang berjalan bersamaan, yakni peta rakyat yang diwariskan turun-temurun, dan peta izin yang digambar di atas meja perundingan birokrasi.

Dalam perspektif hukum, praktik seperti ini melanggar banyak aturan, mulai dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan, hingga ketentuan Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi dan air dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Ironisnya, pasal itu kini seolah dibaca terbalik, dimana bumi dan air dikuasai oleh segelintir orang, untuk dijual kepada yang paling mampu membayar.

Baca Juga :  JAM-Pidum Kejagung RI Terapkan Keadilan Restoratif pada Perkara Pencurian Motor

Dalam filosofi Aceh, tanoh lon, droe lon, jih lon (tanahku, diriku, hidupku) merupakan satu kesatuan yang sakral. Maka menjual tanah tanpa berkeringat mengelolanya adalah bentuk pengkhianatan terhadap diri sendiri. Para agen Izin Usaha Peubloe (IUP) nanggroe itu bukan hanya menjual izin, tetapi menjual martabat Nanggroe. Mereka memanfaatkan kelemahan regulasi, memelintir semangat investasi, dan mengubah izin eksplorasi menjadi instrumen rente kekuasaan.

Kepala daerah tidak boleh gentar menghadapi tekanan semacam ini. Negara tidak boleh tunduk pada mafia tambang yang bersembunyi di balik legalitas surat. Sebab jika praktik ini dibiarkan, Aceh hanya akan menjadi pasar gelap izin, bukan daerah otonom yang berdaulat atas sumber dayanya.

KPK mesti turun tangan bukan sekadar untuk menindak oknum, tetapi untuk membongkar jaringannya, mulai dari pengurus perusahaan boneka hingga aktor politik yang melindungi mereka. Korupsi SDA bukan hanya soal kerugian finansial negara, melainkan perampasan masa depan generasi.

Sudah saatnya Aceh belajar dari masa lalu. Ketika tanah dijual atas nama pembangunan, yang tumbuh bukan kemakmuran, melainkan kesenjangan. Ketika izin diperjualbelikan atas nama investasi, yang tersisa hanya surat tanpa makna. Maka, jika hari ini kita menanti KPK membasmi agen Izin Peubloe (IUP) nanggroe di bumi Aceh, itu bukan sekadar tuntutan moral, melainkan panggilan sejarah, agar tanah indatu kembali menjadi milik rakyat, bukan milik penjual surat.

Editor: RedaksiReporter: Redaksi

Share :

Baca Juga

Hukrim

Polisi Tangkap Pelaku Pencurian Bernilai Ratusan Juta di Banda Aceh

Hukrim

Tiba dari Kuala Lumpur, Pria Ini Ditangkap di Bandara SIM Karena Bawa Narkotika

Hukrim

Kejagung Belum Terima Laporan Dugaan Penyelewengan Dana PON Aceh – Sumut 2024

Hukrim

Tiba di Polda Aceh, Penyidik Langsung Periksa Abu Laot

Hukrim

YARA Minta Polda Aceh Tindak Seluruh Tambang Illegal

Aceh Barat Daya

Operasi Zebra Selesai, Berikut Data Tilang Selama Operasi di Abdya

Hukrim

Bea Cukai & BAIS TNI Gagalkan Peredaran Lebih 2 Juta Batang Rokok Ilegal 

Hukrim

Menko Polkam Bentuk Satgas Terpadu untuk Gebuk Premanisme